Demonstrasi penistaan agama yang
terjadi pada Ahad tanggal 4 November lalu menumpahkan massa sebanyak lebih dari
200 ribu orang di wajah ibu kota. Entah dari mana saja massa itu berasal tapi
yang jelas kedatangan para ‘turis’ itu telah memberi berkah bagi penduduk asli
Jakarta yang berprofesi sebagai penjaja nasi goreng, mie ayam, ketoprak,
gado-gado, sate, es cendol, teh botol dan lain sebagainya.
Aksi yang semula berjalan tenang
dan damai berubah menjadi kericuhan selepas magrib ketika polisi yang berusaha
membubarkan massa karena waktu demo yang disepakati telah lewat tidak digubris.
Massa kemudian berubah beringas dan berusaha menerobos barikade pihak keamanan
sehingga polisi terpaksa melepas tembakan gas air mata sebagai peringatan
dimana akhirnya terjadi pembakaran mobil dan keributan yang tidak diinginkan.
Kerusuhan yang terjadi pada Jumat
malam nyaris berkelanjutan pada Sabtunya karena beberapa media sosial dan
himbauan lewat WA dan Line menyebarkan gossip akan terjadinya kelanjutan aksi
massa di hari Sabtu berupa penjarahan yang mirip dengan kejadian tahun 98 sehingga
beberapa teman warga keturunan yang was-was menyingkir keluar Jakarta.
Isu SARA (suku, agama, ras,
golongan) memang bahan bakar paling pas buat mengobarkan api kerusuhan namun berkaca
dari pengalaman demonstrasi 98 yang juga berakhir rusuh, apapun isunya semuanya
bermuara pada satu hal bernama kekuasaan. Tidak percaya? Mari kita lihat alasan
di balik 4 demonstrasi yang paling banyak membawa korban di seluruh dunia ini:
- Demonstrasi Nika 532 M, korban tewas : 30.000
orang
Sebagai kota yang tumbuh dengan terlalu banyak
kontrol, para senator Konstantinopel yang bekerja bagi Kaisar Justinianus memutuskan
bahwa mereka akhirnya memiliki waktu yang tepat untuk menggulingkannya setelah ketidaksetujuan
mereka atas peraturan pajak baru ditolak. Kaisar dianggap menarik pajak terlalu
tinggi sehingga mereka tidak senang karenanya.
Karena itu, para senator kemudian tergabung dalam
demo dan menuntut dipilihnya Kaisar baru serta turunnya John the Cappadocian
dan Tribonian yang mendukung ide-ide pajak Justinianus. Namun demo itu tidak
dipedulikan sehingga kerusuhan terus terjadi.
Kerusuhan besar justru mulai terjadi ketika dua
orang dari tim chariot hijau dan biru dituduh melakukan pembunuhan dan harus
dibawa ke sidang tetapi Kaisar Justinianus yang merupakan pendukung tim biru
mengadakan pertandingan tersebut dengan harapan hukuman mati kepada tim biru
bisa diperingan menjadi hukuman penjara seumur hidup.
Massa yang marah datang ke Hippodrome, ke tempat
dimana pertandingan kereta kuda, dan teriakan kedua kubu yang saling membela
akhirnya berubah menjadi teriakan Nika yang artinya ‘kemenangan’ dan para
senator pembelot akhirnya berhasil menunggai tim hijau untuk melawan keputusan
Kaisar sehingga pecahlah kerusuhan.
Kerusuhan biasanya berlangsung satu atau dua hari
namun kerusuhan Nika pada 532 SM berlangsung seminggu, dan dikenal sebagai kerusuhan
paling mematikan yang pernah ada, 30.000 orang mati di seluruh kota dan setengah
dari kota itu dibakar menjadi abu dan puing-puing.
- Demonstrasi Warga Arab di Palestina 1936-1939,
korban tewas : 5.600 orang
Pada April 1936 beberapa pemimpin Arab yang
tergabung dalam Komite Tinggi Arab (AHC) menyerukan protes tentang dua hal
yakni imigrasi Yahudi dalam jumlah besar ke wilayah Palestina serta kembalinya
pemerintahan kolonial Inggris. Tahun-tahun pertama Demonstrasi dilakukan dengan
cara pemogokan dan boikot produk-produk Yahudi.
Pada awalnya pihak Inggris berhasil meredakan
ketegangan dengan cara menghentikan laju imigran Yahudi yang pada saat itu tengah
dicari-cari Nazi Jerman – yang secara kebetulan juga sedang berperang dengan
Inggris pada Perang Dunia 2 – karena Inggris tidak ingin kehilangan pasokan
minyak dari negara-negara Arab. Namun invasi terus terjadi dan orang Israel
terus datang ke tanah Arab tanpa bisa dihentikan oleh pihak Inggris yang
akhirnya mengusulkan untuk memisahkan Palestina menjadi sebuah negara mandiri
diluar kesatuan negara Arab namun usul itu ditolak mentah-mentah yang berakhir
pada demo besar-besaran.
September 1937, kerusuhan itu berubah menjadi
aksi kekerasan karena AHC menuntut praktik imigrasi Yahudi dihentikan dan
Palestina menjadi negara merdeka bagi warga Arab. Inggris yang banyak
dikendalikan oleh Israel dalam fungsinya berperang melawan Jerman tidak mampu memberikan
solusi sehingga akhirnya pecahlah kerusuhan yang memakan banyak korban.
- Direct Action Day 1946, korban tewas : 4.000 orang
Keputusan pemerintah Inggris di tahun 1946 untuk
memberikan kemerdekaan dan pengalihan kekuasaan secara penuh kepada pemimpin
India yang berasal dari kaum mayoritas agama hindu mengecewakan bagi mereka
pemeluk Islam karena mereka ingin mendirikan negara sendiri bernama Pakistan
dan bukan berada di bawah naungan negara India.
Pemimpin Muslim India lalu menuntut agar India dibagi
dua, yakni India dengan mayoritas Hindu dan Pakistan dengan mayoritas Islam
namun usul ini tidak disetujui. Makin kecewa dengan keputusan itu maka mulai muncul
beberapa kali bentrokan kecil antar golongan khususnya di Kalkuta.
Pemimpin muslim memutuskan mengerahkan massa yang
semakin besar agar pemerintah baru mau melihat eksistensi mereka pada 16
Agustus 1946, atau 18 hari setelah Ramadhan yang mereka namai Direct Action Day atau Hari Gerakan Secara Langsung dimana demonstrasi
besar-besaran itu berakhir rusuh. Pertempuran sangat buruk bahkan pasukan
polisi dari kedua belah pihak tak dapat mengendalikan atau menghentikannya.
Baru pada tanggal 22 Agustus kerusuhan akhirnya
berakhir setelah pasukan Inggris dikirim untuk menenangkan kekerasan. Selama
kerusuhan, banyak orang meninggalkan rumah mereka, tetapi mereka yang tidak
pergi menjadi pelaku dan korban kekerasan. 4000 orang tewas sementara lebih
dari 100.000 terluka, banyak yang kehilangan tempat tinggal mereka namun kerusuhan
ternyata menjalar dari Kalkulta hingga ke seluruh India.
- Revolusi Rumania 1989, korban tewas : 1104 orang
Gelombang ketidakpuasan sebenarnya mulai terlihat
pada tahun 1989 ketika Presiden Nicolae Ceau melakukan apa yang disebutnya
sebagai gerakan Escu untuk menghapus hutang negara. Gerakan ini dilakukan dengan
cara mengekspor sejumlah besar barang dari Rumania untuk ditukar dengan mata
uang internasional.
Rencana ini justru membuat rakyat Rumania makin
miskin, barang kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian, listrik, hiburan televisi
dan banyak hal lain mengalami pemotongan tapi di sisi lain ketika negara sedang
mencoba mengurangi beban hutangnya, Presiden Ceau malah mengadakan parade
perayaan untuk dirinya dan sang istri yang menguras banyak uang rakyat.
Belum lagi usahanya untuk membentuk Rumania menjadi negara
Kepolisian sehingga polisi memiliki kekuasaan
tanpa batas. Kebebasan berbicara dibelenggu, buku disensor, saluran radio
dilarang, dan tak ada lagi yang bisa mengkritik rezim. Semua ini sangat membuat
marah banyak warga, dan sebagian besar percaya bahwa revolusi tak terelakkan.
Protes nyata pertama dimulai pada 16 Desember
1989, ketika pejabat Rumania berusaha menyingkirkan Laszlo Tokes, seorang
pemberontak yang berani bersikap vokal menentang pemerintah yang menyebabkan dia
kehilangan pekerjaan sebagai seorang pendeta. Polisi yang berusaha menangkap Tokes
mendapat hambatan dari rakyat yang datang ke rumah Tokes untuk melindunginya.
Besarnya jumlah massa memaksa polisi menggunakan cara kekerasan
dengan peralatan lengkap untuk membubarkan mereka dari rumah Tokes namun demonstran
di tempat lain justru melancarkan aksi balasan dengan masuk ke gedung Komite Kecamatan dan menghancurkan segalanya, termasuk
propaganda dan brosur dan bahkan mencoba untuk membakar gedung itu meski usaha
itu gagal.
Kerusuhan semakin buruk, polisi semakin tidak
mampu menghadapi massa sehingga puncaknya terjadi kerusuhan pada 21 Desember,
ketika hampir 100.000 orang datang ke istana presiden dan menyerukan himbauan
anti-pemerintah dan pengunduran diri Ceau Escu. Presiden Ceau Escu dan istrinya
berusaha melarikan diri dengan helikopter tapi usaha itu gagal dan mereka
berhasil ditangkap dan diadili oleh massa. Kerusuhan panjang itu mengorbankan
1104 orang sebagai tumbalnya.
Tahun 98 saya ikut aksi massa pada waktu itu dengan
semangat menurunkan pemerintahan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dan
merasa apa yang saya lakukan sebagai bentuk patriotisme demi mempertahankan keutuhan
NKRI dari kebobrokan. Nyatanya, aksi itu hanya melicinkan jalan bagi segelintir
orang untuk naik ke tampuk kekuasaan padahal mereka tidak pernah turun ke jalan
seperti yang kami lakukan.
Sangat disayangkan bukan kalau anda harus menjadi korban dari sesuatu
yang sebenarnya anda sendiri tidak menikmatinya?
Dalam hal ini mari acung jempol kepada pihak keamanan yakni militer
dan polisi yang tidak bertindak represif dalam menenangkan kerusuhan massa.
Bila emosi ikut terpancing, dan yang mana saya yakin kemungkinan itu bisa saja
terjadi, kita akan mengulang sejarah kelam Bloody Sunday di Irlandia tahun 1972 ketika tentara Inggris
berusaha menghentikan demonstrasi massa penduduk sipil penganut fanatis Katolik
di Bogside, Irlandia Utara yang ingin penganut Protestan, yang tidak sejalan
dengan faham mereka, keluar dari Derry.
Mari lihat trailer filmnya sejenak….
No comments:
Post a Comment