Ah, ada sentimentil tertentu setiap kali aku melewati
kompleks komersial ini, yang dulu lebih dikenal sebagai Sabang oleh remaja
seangkatanku, tempat dimana kebandelan dipamerkan dan apalagi kalau bukan
bergaya dengan tongkrongan mobil mewah atau kebut-kebutan motor.
Namun
perlintasan ini berganti nama bersamaan dengan tersentuhnya oleh dunia bisnis
lewat rambahan toko dan pedagang kaki lima yang mengalihkan tongkrongan mereka
dan generasi muda di bawah mereka ke pusat-pusat perbelanjaan seperti Sarinah
Thamrin.
Aku berharap bisa mengusir suntuk di tempat ini dari minggu yang penuh kutuk dan
maki, romantisme nostalgia tentunya menjadi sesuatu yang ampuh bagi kejenuhan
dan kejayaan masa lalu mungkin sebuah obat untuk memberi variasi suasana yang menyejukkan
hati...
Masa rehat!
Cooling down dari hubungan asmara!
Hah, teman-temanku akan
menertawakanku kalau mengetahui keadaanku… wajar saja karena kebanyakan dari
mereka sudah punya momongan, malah hampir semua temanku telah berganti status
menjadi pemain ganda campuran dalam pertandingan kehidupan ini, dan dengan usia
yang semakin menua semakin banyak kebingungan menghampiri, bukan soal gadis
mana yang pantas sebagi pendamping atau kenapa tak seorang gadis pun melirikku,
yang jadi masalahku justru kenapa hubunganku tidak pernah bisa berlangsung lama
dengan pacar-pacarku...
Kususuri
trotoar dari ujung Pondok Sate Kambing Pak Kumis yang terkenal sampai sekarang.
Happy Days yang dulu ada di seberang jalan itu sudah lenyap karena tak kuasa
menahan kejamnya kapitalisme, siapa yang tak bisa menghasilkan profit yang
cukup untuk menyewa tempat di sepanjang Sabang akan tergusur, dan itu berlaku
bagi siapapun tanpa kecuali meski dari tempat itulah banyak orang Jakarta
mengenal Steak, dan aku salah satu contohnya, pemuda kampung yang merantau ke
ibu kota untuk kuliah berlaku norak dan kebingungan saat mencari-cari sendok
untuk memakan steak dan mengabaikan pisau di samping piring.
Dan Oding yang
menraktirku itu biang keroknya, dia mengundangku supaya aku jadi bahan
tertawaan teman satu angkatan di kelas Sipil-A. Tapi dari kejadian itu aku dan
Oding berkawan karib. Bahkan denganku, dan mungkin ini hanya denganku saja, dia
berbagi rahasia mengenai persetubuhan pertama kali yang dia lakukan bersama mantan
pacarnya. Semuanya rinci, sampai pada musik yang mengiringi sesuatu yang
disebut Oding sebagai ’permainan lelaki sejati’.
Kneel
down Inhale my odor
Come kiss my hand angel
dare to explode my higher ground
stike ti desearve me
Ma chrie
And my winds surpass perfum
I'm a carismatic and fool boom
I'm a genuine man
Yes I am, I am a perfect gentleman
Yes I am, I am a perfect gentleman
Come kiss my hand angel
dare to explode my higher ground
stike ti desearve me
Ma chrie
And my winds surpass perfum
I'm a carismatic and fool boom
I'm a genuine man
Yes I am, I am a perfect gentleman
Yes I am, I am a perfect gentleman
Kadang aku tak percaya
dengan omongannya karena aku tahu Oding suka membual, dan itu termasuk urusan
yang satu itu, lagipula mana ada gadis yang sudi bercinta dengan iringan musik
berisik macam band Halloween. Tapi bila aku sangsi bukan berarti itu tak
mungkin terjadi, dan itu diakui oleh Oding beberapa bulan setelah dia bercerita
soal percintaan yang dia lakukan bersama Melanie, bukan bagaimana dia mengarang
cerita itu tapi bagaimana dia bisa menggaet cewek yang rasanya hampir mustahil
meliriknya.
”Ini
karena cincin ini,” dia mengangkat jari tengahnya yang terlilit cincin perak
bermata kuning.
”Cincin?”
aku mengangkat alis tak mengerti.
”Ini
bisa bikin cewek tergila-gila.”
"Bagaimana
bisa?”
”Aku
akan menunjukkannya padamu kalau kamu minat.”
Dan
setelah membuktikan bagaimana dengan mudahnya Oding membuat gadis yang baru
dikenalnya memberikan nomor teleponnya aku jadi mengerti kenapa Melanie menurut
saja diperlakukan begitu, dan aku mendengarkan dengan termangu laksana sapi
tolol mendengar cerita Oding soal sensasi yang dirasakannya diiringi teriakan
”I want out...” dan melodi gitar Kai Mahsen.
Pikiran
yang melayang membuatku tak segera tersadar sewaktu seseorang menabrakku dari
samping. Orang itu terpekik pelan karena tasnya terjatuh. Dan pada saat kami
membungkuk bersamaan – aku karena ingin menolong mengambilkan tasnya sebagai
permintaan maaf – aku terperanjat mendapati wanita di hadapanku. Mungkin
keterkejutanku tidak sehebat yang dialami wanita itu. Itu sudah pasti, kataku
karena yang kulihat itu guru biologi SMA-ku di Yogya.
Namanya Bu Erna. Nama
yang tak pernah lepas dari ingatanku, dia dulu guru termuda dan tercantik di
sekolah kami. Aku pangling mendapati dandanannya yang seronok, seingatku dia
dulu selalu berdandan dengan gaya kolot karena dia begitu pemalu dan kami
sering menganggunya.
Walau pemalu Bu Erna tidak
seperti guru wanita lain yang pengecut yang suka melaporkan kami pada pak Har, wali
kelas kami yang gahar dan terkenal suka main pukul bila ada yang mengganggu
guru wanita, terutama Bu Erna, kami sering mengatainya sebagai ksatria
kesiangan yang ingin digilai para wanita di sekolah.
Malah sebenarnya aku
pernah dibuat illfill saat bu Erna mengacuhkan surat cinta, yang pada suatu hari
kuberikan kepadanya dengan kenekadan luar biasa, dan wanita itu mengembalikan surat
cintaku ke dalam selipan essai ulangan biologiku yang mendapat nilai E, aku masih
ingat komentarnya ;
Kalau kamu mengisi
essai ulangan ini seperti tulisan seperti yang ada di surat ini maka kamu
pantas dapat A. Malunya bukan main...
"Bu
Erna?” aku gamang, bingung untuk memanggilnya dengan ibu Erna atau Erna saja,
sebab melihat penampilannya tak akan ada yang menyangka kalau dia sebenarnya
jauh lebih tua dariku. Tidak ada yang berubah dari wanita ini. Tidak ada kerut
atau cacat akibat usia sedikit pun yang menghiasi wajahnya. Dia cantik sempurna
seperti guru muda yang kukenal dulu.
Meskipun terpesona tapi
naluri laki-lakiku tak mampu menyembunyikan sifat nakal saat pandanganku menyapu
rok kilt hitam yang lima senti diatas lutut, tank top coklat dari bahan satin
yang tidak sampai menutupi perutnya, dan sepatu boot hitam Magli. Sebagaimana
wajahnya, sama sekali tak ada yang berubah dari tubuhnya. Tetap langsing dan
seksi.
Pipi
Bu Erna bersemu merah, agaknya menyadari sorotan nakal mataku yang tidak bisa
disembunyikan pada jarak sedekat ini, aku bisa merasakan sifat pemalu yang
masih tersisa dari wanita itu. Hanya kali ini dia tak merasa terganggu dengan
’kenakalan’ku, dia malah tersenyum dan meraba lenganku yang dipenuhi otot dari
hasil latihan beban dan bahuku yang kokoh,
“Ferry? Kamu sudah dewasa…”
“Sedang
jalan-jalan?” tanyaku canggung.
“Ya,
menunggu teman,” jawabnya kaku.
Jawabannya
menyulutkan pikiran yang semakin nakal dalam awangku. Akal sehatku mengatakan itu
sebagai sesuatu yan sinting tapi bagaimana kenyataan yang didepanku bisa menolak
hal itu?
Berpakaian seronok dan
menunggu teman, jawaban yang diberikan hampir oleh semua wanita tuna susila
bila dia kepergok oleh salah satu keluarganya ketika tengah menunggu di
lokalisasinya.
Apakah itu yang dilakukan wanita ini di tempat semacam ini?
Tapi
bagaimana mungkin dia bisa mendugakan hal sejahat itu pada wanita yang
merupakan mantan gurunya?
Apakah gaji guru tidak
mencukupi kebutuhan nafkah sehari-hari?
Bisa jadi begitu karena dunia yang gila
ini tidak lagi adil, bahkan bagi seorang pahlawan tanpa tanda jasa ini.
”Kamu
sendiri? Sendirian?” wanita itu balik bertanya.
Aku
menggeleng, ”Belum punya pacar...” dan ini jawaban bohong sebab kenyataannya
aku sedang perang dingin dengan Moniq.
”Oh...”
Bu Erna mengangguk dan dia berusaha keras menghindari tatapanku yang sekali
lagi kusadari menyiratkan dugaan di otakku. Wanita itu mengeluarkan ponselnya
sebagai isyarat untuk memutus basa-basi yang benar-benar basi dan kami saling
bertukar nomor. Setelah itu kami berpisah dengan sopan santun setelah dia
berpesan untuk menghubunginya as soon as
posibble.
Seorang
wanita berpakaian seronok dan tubuh menarik meninggalkan nomor ponselnya
untukku. Sebuah denting mengiang di kepala, menyuarakan banyak kemungkinan
yang semuanya mengarah pada apa yang disebut si Oding sebagai ’permainan lelaki
sejati’. Namun
ranah dalam hatiku yang logis membisikkan suara halus dari salah satu judul
lagu band Poison, ”You can look but you
can’t touch..”
Jadi
disinilah aku berdiri memandangi lenggak-lenggok pantat Bu Erna yang
mengingatkanku pada Naomi Watts saat dia berjalan di catwalk di Fashion TV. Aku
tak tahu apakah wanita itu bisa dengan begitu mudahnya memberiku nomornya untuk
dihubungi karena masa lalu kami, atau karena kemampuan cincin bermata kuning di
jari tengahku ini...cincin yang diberikan Oding persis sebulan sebelum
sahabatku itu meninggal di…
Tuhanku,
aku baru sadar kalau aku seharusnya tidak berlama-lama di trotoar ini, bukan
karena banyaknya orang yang berlalu-lalang tapi di sudut dekat toko penjual
kamera itu Oding tewas kebut-kebutan, persis di tikungan jalan di depan.
Decit rem yang meraung
minta berhenti masih jelas seperti hari kemarin, mobil yang dikendarai Oding tidak
dapat dikendalikan karena remnya blong dan sahabatku itu terlempar keluar melewati
kaca yang hancur berantakan. Jurnalku mencatat dengan baik semuanya, buku itu
tahu bagaimana perasaanku ketika darah Oding mengguyur salah satu bagian dari
tepian jalan ini.
Demi mengubur perasaan
tak nyaman ini aku masuk ke Duta Suara. Dulu toko kaset ini merupakan tempat
aku menembak pacarku yang pertama, Nuri. Tapi bukan itu yang membuatku kerasan
berkelana di hamparan kaset-kaset disitu. Di toko itu biasanya aku melewatkan
waktu bersama anak-anak Mortal, band lamaku yang beraliran HardRock Punk, saat
kami cabut kuliah.
Sekarang
penataannya lebih rapi, manajemennya juga lebih baik. Pengurutan abjad dari A
sampai Z memudahkan pengunjung untuk mencari rekaman-rekaman yang diingini. A untuk Aerosmith, B untuk Blink, C untuk
Cranberries, sampai Z untuk ZZ Top. Mereka juga sudah menyediakan bagian khusus
untuk mendengarkan kaset-kaset baru yang ditawarkan sehingga pembeli cukup
mengangkat headphone dan mendengarnya tanpa perlu mengambil kaset dari rak
jualan.
Aku lebih menyukai keramahan
suasana di masa silam, bayangkan kami bisa seharian nongkrong sambil membuka
sampul kaset, mendengarkan hampir setengah isi kaset lewat pemutar yang
disediakan gratis bagi siapapun yang ingin mencoba kaset itu sebelum membeli,
dan mengembalikannya dengan serampangan tanpa merasa bersalah atau keharusan
membeli, dan penjaga toko tidak pernah mempermasalahkan itu.
Semuanya tampak begitu formal, kurasakan tatapan
galak penjaga-penjaga toko ketika aku membolak-balik kaset dan CD dari ujung rak
yang satu ke ujung lain. Dan satu lagi yang menurutku sudah luntur dari budaya
masa lalu…jiwa!
Dulu aku
bisa bertanya pada penjaga toko tentang lagu baru yang mereka bisa carikan
kasetnya atau sekedar jawab judul lagunya meskipun hanya dengan mendengar nada
atau liriknya saja. Aku tidak yakin para penjaga yang sekarang berada di tempat
ini punya kemampuan itu....lihat saja tatapan tolol mereka...
Terbukti ketika aku
menanyakan dimana letak kaset dari band yang ingin kucari saja mereka harus
kembali ke counter dan menanyakan kepada petugas di kasir, padahal jelas-jelas
rak display itu sudah memakai sistem abjad untuk memudahkan mencari. Ah, jiwa
memang penting untuk kehidupan ini….
Tapi…Damn!
Kenapa dia disini?
Dan,siapa itu di sebelahnya ?
Pandanganku
tertumbuk pada gadis berambut hitam berparas jawa dengan kulit kecoklatan yang
sedang berdiri di depan rak album-album beraliran pop. Itu memang musik
favoritnya, terutama David Foster atau Josh Groban, dan kami sering berkelahi
karena dia berkeras mendengarkan Valentine sementara aku Smell Of
Teen Spirits.
Di sebelahnya berdiri pria
kekar dengan seragam PDH berpangkat Letnan. Garis keras yang terbias di
wajahnya menandakan orang lapangan itu kerap terlibat dalam situasi sulit
seperti demo massa atau usaha-usaha makar pemberontakan di wilayah perbatasan.
Tapi baru kini aku tahu kalau Moniq, nama gadis itu yang sekaligus memutuskan
cintaku seminggu lalu, punya selera yang begitu buruk.
Waktu
kukonfrontasi dengan mengambil langkah pertama dengan menegurnya, Moniq nampak gelagepan. Kaget mungkin berada
pada tingkat terendah dari apa yang dia rasakan.
Panik! Itu dia!
Kepanikan serta rasa
bersalah teraduk dalam emosinya. Ada kecanggungan yang melanda karena mendapati
gadis itu tertangkap basah olehku, apalagi karena dia sendiri yang mengusulkan
agar kami tidak berhubungan sementara waktu, bukan karena kami akan
mengakhirinya, tapi karena butuh ruang untuk cooling down, memastikan kepada diri masing-masing bahwa yang kami
jalani memang karena kami mau dan bukan gara-gara terpaksa atau ada cinta lain.
Moniq
salah tingkah saat memperkenalkanku dengan kawan Letnannya. Aku bersikap acuh
tak acuh meskipun pria itu mencoba ramah saat aku memperkenalkan diri sebagai
kawan Moniq, tapi gadis itu tahu dari tatapanku kalau hubungan kami sudah berakhir
dan aku yang memutuskannya.
Ego
gadis itu yang tidak mau kalah membuatnya melontarkan pertanyaan yang rasanya
menyindirku, “Sendirian?”
Dari
sudut mataku aku melihat seorang wanita masuk ke lantai dimana kami berada, aku
tak mempercayai mataku karena rasanya tadi kamis udah berpisah di tengah jalan,
tapi sosok itu jelas bu Erna. Mungkin malaikat yang mengirim wanita itu, atau
dia mengikutiku, atau mungkin ini juga efek cincin yang dipinjamkan Oding
kepadaku...entah apapun itu yang pasti itu membuatku bisa menjawab pertanyaan
Moniq dengan penuh gaya.
Dengan cueknya aku
dekati wanita itu lalu menggandengnya dari belakang. Bu Erna kaget tapi cepat
menguasai diri ketika mendapati pria yang memeluknya itu aku. Entah dengan
kegilaan yang kudapat darimana kucium pipi wanita itu, dalam hatiku aku
menjerit supaya wanita itu tidak menamparku di depan sepasang kekasih
menyebalkan itu.
Ajaib, wanita menggairahkan ini tidak marah!
Penuh senyum kemenangan kulambaikan tangan ke pasangan yang masih berdiri
disitu. Aku geli melihat Moniq cemberut sementara tatapan mata Letnan itu
ternyata sama seperti mata pria buaya lainnya, penuh nafsu melihat ’porselen’
yang mulus.
“Ada
apa?” tanya Bu Erna keheranan.
“Teman
ibu tidak datang ?”
“Tidak.”
“Boleh
aku menemani ibu ?”
“Asal
kamu mau memanggilku Erna."
Aku tersenyum mengangguk, "Erna..."
Wanita itu terkikik geli saat angin yang keluar dari mulutku sewaktu mengucapkan namanya terhembus ke telinganya. Lalu kami
bergandengan menuruni lantai dua. Di tangga kami sempat berciuman mesra bagai
sepasang kekasih merindu karena lama tak jumpa. Dan lamat-lamat kudengar lantunan
lirik yang begitu kukenal, menyertai dalam setiap kecupanku padanya yang
membuatku yakin atas eksistensi diriku.
Yes
I am (perfect)
Yes I am (perfect)
Oh I am (perferct)
Oh lord I am (perfect)
Yes I am, I am a perfect gentleman
Yes I am, I am a perfect gentleman
Yes I am, I am a perfect gentleman
Yes I am, I am a perfect gentleman
Yes I am (perfect)
Oh I am (perferct)
Oh lord I am (perfect)
Yes I am, I am a perfect gentleman
Yes I am, I am a perfect gentleman
Yes I am, I am a perfect gentleman
Yes I am, I am a perfect gentleman
Kurasa hanya tinggal menunggu waktu saja sampai aku
meneriakan lengkingan Oding yang tolol namun selalu ingin kulakukan itu, “I want out--to live my life and to be
free…”
Aku
terlena dalam euphoria mempermalukan Moniq dan kekasih barunya sehingga tak
menyadari ketika Erna membimbingku memasuki sebuah gang, tempat itu mungkin
penuh dengan pedagang makanan saat siang hari tapi di malam seperti ini sama
sekali tidak ada kehidupan disana kecuali gerobak-gerobak yang sengaja
ditinggal pemiliknya untuk berusaha keesokan hari.
“Memangnya
siapa cewek yang di dalam tadi?” tegur Erna.
“Hanya
temanku dengan pacar laki-lakinya,” aku menjawab.
“Bukannya
dia pacarmu yang namanya Moniq?”
Aku
tertegun mendengar itu, “Siapa bilang?”
“Betul,
kan dia pacarmu? Kenapa kamu ngomong ke aku kamu nggak punya pacar?” tanya Erna
dengan nada merengek.
“Secara
harafiahnya kami lagi nggak pacaran saat ini karena saat ini kami sedang cooling down.”
“Oh,
begitu? Mudah-mudahan itu jawaban jujur darimu,” kata Erna sembari mengangkat
jariku yang terlingkari cincin pemberian Oding. “Dan apakah kamu menggaet Moniq
gara-gara pesonamu atau cincin ini?”
Sontak
aku menarik tanganku dari genggamannya, ini mulai terasa tidak lucu, “Ngomong
apa sih?”
Erna
tertawa terkekeh, “Soalnya kamu gagal total kalau mengira dengan cincin itu kamu
bisa mengguna-gunai aku.”
Lagi-lagi
aku terperangah, memang tadi sempat terpikir untuk melakukan apa yang dia
tuduhkan tapi bagaimana mungkin dia tahu apa yang ada dalam pikiranku beberapa
jam sebelumnya?
“Justru
yang sebenarnya terjadi adalah aku yang mengguna-guna kamu.”
“Apa?”
dahiku berkernyit. “Buat apa?”
“Karena
aku ingin makan malam ini…” dan setelah itu wajah perempuan yang kukenal sebagai
bu Erna itu berubah menjadi sesuatu yang sangat buruk dengan taring yang mencuat
di sela bibirnya. Kejadian berikutnya begitu cepat karena aku tak sempat
melakukan apapun saat sepasang taring itu menancap di leherku…
END
No comments:
Post a Comment