Sudah sepuluh
menit kereta terakhir jurusan ke Bogor itu terlambat datang, dan jam di salah
satu tiang stasiun telah menunjukkan pukul 22.50. Kalau satu jam lalu aku naik
busway ke terminal Ragunan setidaknya aku sekarang berada di Kampung Rambutan buat
meneruskan perjalanan ke Bogor. Tapi merubah keputusan saat ini bukanlah
sesuatu yang tepat sebab jadwal terakhir bus antar kota tersebut sudah berakhir
setengah jam lebih awal.
Untungnya bukan hanya aku satu-satunya perempuan yang menunggu di stasiun.
Ada seorang perempuan cantik berpakaian kantoran yang nampaknya juga baru
menyelesaikan tugas lemburnya lalu seorang perempuan paruh baya bertampang
murung yang terbatuk-batuk sejak aku duduk di bangku ini.
Trrrrttt….Trrrttt...
Ponselku berbunyi…dari Jimmy…aku
agak malas buat menanggapi karena lagi marahan sama pacarku yang playboy
itu…apalagi kalau bukan karena aku memergoki pesan-pesan mesra di ponselnya
dari seorang cewek bernama Rani. Jimmy bilang itu hanya joke kantor sebab Rani itu sekretarisnya… whatever…buaya tetap buaya…tapi akhirnya kuangkat juga ponselku,
“Ada apa?”
“Kamu belum pulang jam segini,
say?”
“Biasa, kan?”
“Kamu nggak apa-apa pulang
sendiri?”
“Aku sudah gede kale,”jawabku
sekenanya.
“Kalau masih di kampus aku
jemput ya…”
“Nggak perlu. Kamu urusin saja
sekretaris baru kamu itu.”
“Kok ngomong gitu. Aku kan…”
“Sudah deh, Jim ! Aku lagi malas
ngomong sama kamu.”
“Kamu jahat, nggak kasih waktu
buat menjelaskan semuanya.”
“Kayaknya bisa panjang ya? Keretaku sudah datang tuh…aku nggak mau telat
naik gara-gara harus denger cerita kamu. Sudah ya…” Dan raungan peluit dari
kereta yang kutunggu mengonfirmasi bahwa aku harus memutuskan telepon Jimmy.
Seperti seorang petinju,aku terselamatkan… saved
by the bell…
“Kereta?” sahut Jimmy, nada suaranya terdengar makin cemas. “Gila ya
kamu…memangnya kamu belum denger berita akhir-akhir ini tentang si Codet
Penusuk?”
“Sudah…sudah…tapi jam segini dia pasti sudah mendekam di tempat tidur.
Sudah ya…bye…”
Aku memutuskan sambungan, mengambil barang-barang berupa tas kanvas
berisi diktat dan tas laptop segede gaban yang berisi materi skripsi, lalu
meloncat masuk ke dalam gerbong kereta. Kursi-kursi di gerbong itu kelihatannya
sudah terisi semua, jadi aku terpaksa mencari tempat yang cukup nyaman untuk
berdiri sebelum kereta meninggalkan stasiun Gondangdia.
Aku memaki-maki dalam hati…ini semua gara-gara Jimmy…kalau saja dia tidak
kelewat berisik menelpon maka aku pasti sudah duluan mendapatkan kursi di salah
satu bangku gerbong ini. Lagian buat apa dia mengungkit-ngungkit soal si Codet
Penusuk? Bikin paranoid banget…
Sebenarnya aku sudah biasa naik kereta ini setiap kuliah. Bogor-Jakarta
lalu kembali lagi Jakarta-Bogor. Memang
jarak itu lumayan jauh, kebanyakan hanya para pekerja dan karyawan kantor yang
rela melakukan perjalanan bolak-balik begitu sementara buat anak kuliah
sepertiku kebanyakan memilih mencari tempat kos di sekitar Cikini atau
Gondangdia, daerah dimana kampusku berada. Alasannya apalagi kalau bukan untuk
menghemat waktu, tenaga, dan tentunya…biaya.
Biaya bukan masalah buatku sebab ada ayah dan ibu yang senantiasa memberi
sokongan uang berlebih supaya aku bisa selalu pulang setiap hari. Sebagai anak
semata wayang mereka, kedua orangtuaku tidak rela melepaskanku begitu saja buat
kuliah di Jakarta.
Demi mendapatkan apa yang aku mau buat kuliah diluar kota Bogor, yang
mulai membuatku sumpek dan mengurangi kekuatiran orangtuaku yang sangat tegas,
akhirnya kami setuju mengambil jalan tengah seperti ini; bahwa aku akan selalu
pulang setiap habis kuliah dengan menaiki KRL.
Dua tahun melakukan perjalanan pergi-pulang Bogor ke Jakarta naik kereta
sebenarnya sesuatu yang menyenangkan, terutama saat Jimmy, masih bekerja di
Jakarta. Kami bahkan sempat memberi julukan gerbong cinta bagi gerbong yang
mengangkut kami berdua. Namun setelah dia membuka kantor konsultan sendiri di
Bogor, aku lebih banyak melakukan perjalanan sendiri.
Pada akhirnya aku sadar ketidakhadiran Jimmy menimbulkan beberapa
kecemasan. Tidak ada lagi perlindungan yang biasa kudapat darinya. Aku mulai
menyadari adanya tatapan-tatapan nakal para penumpang laki-laki yang
memandangku dengan begitu rupa, kelihatan bernafsu buat menelanjangiku. Di lain
waktu aku juga mulai menaruh curiga bahwa beberapa pria yang mendekatiku dengan
perlahan di kereta punya maksud tertentu padaku…
Sebagian besar dari kecemasan itu sebenarnya hanya ada dalam benakku
saja…dan kukira aku terlalu berlebihan menyikapi semuanya…sampai aku
mengalaminya sendiri…saat KRL yang kunaiki pagi itu melambatkan kecepatannya
karena telah memasuki stasiun Cikini. Beberapa penumpang sudah berbaris menuju
pintu keluar sementara aku masih berdiri di samping antrian sebab tujuanku baru
akan tiba setelah satu stasiun lagi.
Ketika kereta telah berhenti sepenuhnya dan penumpang yang cemas dan terburu-buru
mulai saling dorong untuk turun, tiba-tiba aku merasakan sosok tangan menyeruak
diantara antrian dan meremas buah dada kananku. Remasan itu kentara dan
bukannya tanpa sengaja. Aku memekik kaget….
“EEEHHH…SEETTAANNN…SIAPA NIH?”
Pekikanku membuat penumpang yang sedang mengantri keluar terkejut serta memandangiku
ingin tahu, tapi tak seorangpun dari mereka kelihatan bersalah atau gembira
karena baru saja melakukan pelecehan seksual itu. Semuanya berwajah datar. Aku
tidak bisa menyalahkan siapa pun soalnya aku sendiri tidak melihat siapa tangan
jahil yang melakukan perbuatan kurangajar itu padaku.
Yang dapat kulakukan hanya menyemburkan umpatan nama puluhan binatang.
Berharap Tuhan menurunkan petir buat membakar hangus si pelaku di tempatnya
saat itu juga…yang sayangnya tidak mungkin terjadi sebab petir itu pasti akan
menghanguskan juga puluhan orang lain yang berada di dekat orang sialan itu.
Kejadian pagi itu benar-benar memalukan…
Aku sebenarnya pernah mengalami hal yang lebih memalukan dari tadi pagi.
Sekitar setahun lalu, saat masih menaiki KRL bersama Jimmy, kami terpaksa
menaiki kereta ekonomi soalnya jurusan kereta Pakuan arah Jakarta-Bogor sudah
habis akibat kami kelewat malam mengambil jadwal nonton.
Sebenarnya
aku tidak suka mengambil kereta ekonomi karena kereta itu berhenti di setiap
stasiun dan pada jam pulang akan penuh sesak. Masalahnya kami terpaksa, dan
jadilah aku dan Jimmy berhimpit-himpitan di gerbong paling belakang bagai ikan sardin
dalam kaleng.
Baru setengah jam berada di dalam gerbong, pandanganku mendadak
berkunang-kunang dan tahu-tahu semuanya gelap. Saat tersadar aku terbaring di
bangku stasiun dikelilingi Jimmy serta puluhan pengunjung stasiun yang
menontoni penuh rasa ingin tahu namun tak seorangpun berniat membantu, kecuali
Jimmy.
Ternyata aku pingsan di dalam gerbong tadi sehingga Jimmy terpaksa
menggotongku keluar saat kereta berhenti di stasiun terdekat… sejak saat itu
Jimmy selalu menertawakanku bila melihat gerbong kereta yang penuh…brengsek... brengsek…
Tapi kurasa kejadian setahun lalu tersebut tidak terlalu memalukan
dibandingkan dengan apa yang kualami tadi pagi. Kejadian pagi tadi memang
benar-benar memalukan. Aku bahkan masih bisa merasakan sedikit kedutan di buah
dada kananku akibat kerasnya remasan itu…yang menyisakan kecemasan dari
imajinasi buruk yang menjadi-jadi…
Aku bukannya belum mendengar soal si Codet Penusuk! Dari koran atau
obrolan para penumpang setia KRL aku tahu sepak terjang kriminil yang satu itu.
Penjahat itu kerap melakukan penusukan di kereta atau stasiun dengan modusnya
berupa perampokan tas dan korban meninggal dengan tikaman di punggung. Sebagian
besar korbannya wanita. Mungkin karena wanita lebih mudah diperdaya atau mereka
tidak mampu melawan dibandingkan pria.
Penjahat itu beraksi tidak di satu rute namun mengambil rute berbeda
secara acak sehingga polisi dan keamanan PJKA masih belum mampu menangkap si
pelaku. Tiga bulan lalu dia melakukan dua kali penusukan di rute Tangerang –
Kota. Dua bulan lalu korbannya ditemukan membusuk di toilet wanita di halte
Manggarai.
Sebulan lalu dia melakukan tiga kali penyerangan di jurusan Tanah Abang –
Bekasi. Dan entah sudah berapa kali dia melakukannya dalam dua minggu terakhir
ini, yang jelas aksinya mulai mengundang keresahan para Angker, istilah keren
dari singkatan Anggota Kereta.
Masalahnya penjahat itu selalu bisa melakukan aksinya di tengah
keramaian. Belum ada yang mengetahui bagaimana dia bisa melakukannya dengan
begitu mulus, yang jelas korbannya selalu tewas. Namun setinggi-tingginya tupai
melompat pasti suatu ketika akan jatuh juga ke tanah…dan hal itu juga berlaku
bagi si Codet…dimana seorang korbannya yang diserang di stasiun Pasar Minggu
berhasil lolos dari kematian mengungkapkan bahwa dia sepintas melihat wajah
penusuknya.
Dari deskripsi itulah polisi mulai melakukan pencarian, sialnya…para
wartawan keburu mencium soal gambar diri pembunuh yang telah selesai dibuat dan
segera menginformasikan secara brutal ke media-media kalau penjahat yang
meresahkan di kereta itu memiliki codet di wajah.
Akibatnya polisi marah besar, bukan hanya penyelidikan mereka terganggu
sebab penjahat itu pasti akan menyembunyikan codetnya yang membuatnya makin
susah dikenali tapi juga membuat penumpang-penumpang kereta jadi saling melirik
curiga ketika orang asing mendekati, terutama buat memastikan tidak ada codet
di wajah orang itu…persis yang kulakukan saat lelaki berwajah kasar itu
menyuruhku duduk di bangku kosong di sampingnya setelah pria yang semula
mendudukinya turun di stasiun Pasar Minggu.
“Duduk disini,mbak ! Pasti capek berdiri dari tadi.”
Meskipun tidak ada codet disana tapi aku tidak suka melihat wajahnya yang
berangasan…pasti dia akan melakukan yang tidak-tidak kalau aku duduk disitu,
jadi aku menggeleng sembari tersenyum lalu menghampiri perempuan paruh baya
bertampang murung yang tadi kulihat di stasiun Gondangdia. Bangku di sebelah
wanita itu juga sudah kosong sehingga menjadi alasan kuat bagiku buat menolak
pria berwajah kasar tadi.
Aku memasang earphone dan
memejamkan mata. Mencoba untuk tidur meskipun otakku terus berputar. Pemikiran
soal kereta api itu tidak bisa lepas dari pikiran. Perjalanan dengan kereta ini
semula dan seperti seharusnya merupakan perjalanan yang menyenangkan dan aman, seandainya
pihak PJKA tidak menghapus jadwal kereta Pakuan menjadi Commutter.
Memang tiketnya lebih murah tetapi berhentinya kereta di setiap stasiun
menjadi titik rawan karena pelaku kejahatan dapat berhenti dimana pun semaunya
tanpa terdeteksi. Melakukan pengawasan di banyak stasiun tentu lebih sulit
dibanding menjaga di satu stasiun tertentu. Itu sebabnya aku belum pernah
mendengar si Codet beraksi di kereta Pakuan.
Yah, dari kejadian tadi pagi dan ancaman yang mungkin datang dari Codet
Penusuk membuatku berpikir ulang buat menerima tawaran ayah yang akan membelikanku
mobil. Tadinya aku menolak tawaran itu sebab uang ayah baru cukup buat membeli
mobil second. Kukatakan lebih baik
uang itu ditabung dulu sampai cukup untuk membeli mobil baru.
Tidak perlu yang mewah, cukup city
car, yang penting aku tidak direpotkan dengan perbaikan tak terduga yang
biasanya ditimbulkan oleh mobil bekas. Namun nanti malam aku memutuskan akan
mulai merayu ayahku yang baik dan perhatian itu buat membelikan mobil yang
sudah dipilihnya beberapa minggu lalu.
Meski kurang nyaman dengan kondisi kemacetan lalu-lintas ibukota,
bagaimanapun juga naik mobil sendiri jauh lebih aman dari naik kereta yang
kemungkinan besar ditumpangi seorang perampok sekaligus pembunuh atau orang
usil yang tahu-tahu meremas payudara. Jujur saja, aku masih ketakutan setiap
kali orang banyak mengantri turun di stasiun ketika berdiri seperti beberapa
menit lalu. Dan aku semakin yakin dengan
keputusanku itu saat aku menyadari tatapan itu…
Kubuka mata pelan-pelan lalu dari sudut mata kulirik bangku dimana pria
berangasan itu duduk. Benar saja, pria itu menatap ke arahku. Tak bergerak dan
lekat. Mungkin ada yang salah denganku. Dengan rikuh tanganku bergerak ke bawah
buat membenarkan letak rok mini yang mungkin sedikit menyingkapkan pahaku. Pria
itu sepertinya tersadar pada apa yang kulakukan dan dia malah memberi cengiran
lebar.
Dasar hidung belang !!! aku
memaki dalam hati.
Orang itu masih tetap memandangiku dengan lekat, seolah tanpa dosa, dan
aku berpura-pura tidur buat mengusir rasa kikuk meski rasanya itu tidak membuat
si lelaki hidung belang mengalihkan perhatiannya melihat ketidakpedulianku.
Seharusnya aku menegurnya dengan keras seperti yang pernah dilakukan
Winda, teman sekelasku, saat seorang pria memandanginya dengan wajah mesum di
kereta. Teguran itu membuat pria mesum itu memerah malu karena diperhatikan
hampir semua penumpang tetapi aku tidak punya nyali melakukan itu. Baru kali
ini aku menyesali rasa gengsiku yang menolak ajakan pulang bareng dari Jimmy.
Seandainya saja egoku tadi sedikit mereda pasti aku tidak akan dilanda
ketakutan seperti ini. Aku merasakan kembali kerinduan akan hadirnya sosok
Jimmy…
“Pria yang tidak sopan…” desis wanita tua di sebelahku menggumam.
“Kenapa tante?” tanyaku pura-pura tak tahu apa yang dia maksud.
“Itu…yang duduk disana…yang wajahnya kayak Brad Pitt kecebur got…dari tadi
ngeliatin kamu kayak ngeliatin apa gitu.”
“Oh, memang menyebalkan orang itu…dia mungkin lagi mengintip.”
“Makanya jangan pake rok mini di tempat terbuka seperti ini. Tapi
anak-anak jaman sekarang memang susah kalau dikasih tahu…persis anak saya,”
wanta itu terbatuk-batuk lagi dan mengetatkan syal yang melingkupi kepala dan
lehernya. “Maaf ya…keretanya dingin banget…tante nggak tahan.”
“Iya…tante…memang kalau malem jadi suka dingin begitu.”
“Memangnya kamu suka naik kereta sampai malam?”
“Kadang-kadang aja, tante…terutama kalau habis kuliah malam.”
“Oh, nggak kelihatan kalau masih kuliah. Dandanannya kayak orang
kantoran.”
“Tuntutannya begitu, tante. Katanya supaya kita cepat menyesuaikan diri
kalau kerja nanti.”
“Wah, bagus itu ! Tante paling sebel lihat anak kuliah yang kemana-mana
hanya pakai tank top dan celana jeans. Memangnya mereka mau kemana? Diskotik?”
Aku tertawa kecil,”Tapi rata-rata memang sekarang gayanya begitu tante…casual.”
“Santai sih santai tapi tempatkan diri yang benar. Kaos sama jeans hanya
cocok buat piknik atau main ke pantai. Nanti saya akan bilang ke anak saya yang
nomor dua untuk cari kampus yang seperti kampus kamu…supaya dia tahu aturan.”
“Bulan depan kampus saya sudah mulai menerima mahasiswa baru kok
tante…jadi kalau anak tante mau, bisa coba daftar dari sekarang,” kataku
berpromosi.
“Kalau begitu saya menghubungi kemana? Apa saya bisa tanya-tanya ke
kamu?”
“Wah, saya bukan bagian tata usaha tante…kurang begitu tahu. Tante coba
saja cari info ke nomor ini…” aku memberikan nomor bagian administrasi Rektorat
yang memang bertanggung jawab memberikan segala informasi kepada public
berkaitan dengan kegiatan kampus.
“Makasih ya,” ucap wanita tua itu setelah memasukan nomor yang kuberikan
ke address ponsel. “Tapi nggak keberatan kan kalau tante bilang ini?”
“Bilang apa, tante?” tanyaku ingin tahu.
“Tante akan larang dia pakai rok mini ke kampus karena itu….sangat
mengganggu !”
“Ya…tentu tante….” Aku mengangguk sembari tersenyum. “Ngomong-ngomong
tante sendirian aja? Kenapa nggak ada yang menemani?”
“Iya nih…pada nggak bisa. Anak memang selalu begitu…nggak bisa
diandalin.”
“Tapi tante inget kan pulang kemana?” tanyaku agak cemas, aku teringat
pengalaman buruk Jimmy yang nyaris kehilangan neneknya yang super pikun setelah
wanita itu dengan begitu sok tahu mencoba pergi sendirian keluar rumah.
Wanita paruh baya itu menatapku dengan tertawa terbahak-bahak,”Ya, ampun!
Tentu saja! Saya belum setolol itu. Saya nanti turun di stasiun UI.”
Aku ikut tersenyum, “Takutnya tante lupa aja.”
“Nggaklah anak manis. Nanti disana anak saya jemput kok pakai mobil.”
“Syukurlah…” aku berkomentar.
“Kamu sendiri turun dimana?”
“Di Bogor, tante.”
“Aduh, jauh banget ya…yah, kalau turun nanti tante cuma pesan hati-hati
sama orang jahat… terutama sama cowok yang tadi itu,” kata si tante mengedikan
dagunya ke arah lelaki bertampang garang yang sekarang sedang tidur berselonjor
dengan tangan bersedakep dan topi merosot.
“Iya…pasti tante…” jawabku tersenyum hangat. Perhatian dari wanita tua
ini telah mengusir rasa takut yang sedari tadi bermain dalam hatiku.
Kurasakan kecepatan kereta mulai
berkurang. Dan lima menit kemudian gerbong kereta telah berhenti sepenuhnya
saat mencapai stasiun UI, tempat pemberhentian si wanita paruh baya yang duduk
di sebelahku. Dia berdiri lalu mengikuti penumpang lain yang sudah lebih dahulu
beranjak menuju pintu. Pada saat itu aku melihat tas coklat teronggok manis di
bangku yang tadinya diduduki wanita itu. Itu tas yang sedari tadi dipegang si tante…kenapa
bisa ketinggalan?
Secepat kilat aku mengambil tas itu dan berteriak pada si wanita paruh
baya, “Tante…tasnya…”
Wanita itu tidak mendengar teriakanku karena sudah melewati pintu kereta
dan kini telah berdiri di luar gerbong. Perempuan itu berjalan menunduk hendak
menuju pintu keluar stasiun. Aku segera berpikir cepat, haruskah aku mengembalikan tas ini padanya? Seharusnya sih begitu…
kasihan sekali wanita itu bila sesampainya di rumah nanti dia baru sadar
kehilangan tasnya dan aku akan merasa bersalah sekali karena tahu siapa pemilik
tas tersebut. Masalahnya bila aku harus turun buat memberikan tas ini,
bisa-bisa aku ketinggalan kereta…dan aku jelas tidak ingin ketinggalan kereta
yang satu ini sebab ini merupakan kereta terakhir untuk malam ini… ini kereta
terakhirku…
Namun rasa kemanusiaanku yang akhirnya menang. Masih ada waktu beberapa
menit sebelum keretanya meninggalkan stasiun, jadi aku buru-buru membereskan
seluruh barangku, mengambil tas milik wanita itu, lalu turun dari kereta dan
berteriak-teriak memanggil, ”Tante…tante…tunggu…”
Perhatianku terlalu tertuju pada wanita tua itu sehingga tidak sempat
memperhatikan kalau lelaki bertampang sangar itu mengawasiku turun kemudian
bangun dari bangkunya buat mengikutiku.
“TAAANTEEE…TUNGGGUUUU…”
Akhirnya wanita paruh baya itu berhenti, sepertinya terasadar bahwa ada
yang memanggilnya, dia menengok ke belakang dan tersenyum demi melihatku
mengikutinya,“Ada apa anak manis?”
“Tasnya ketinggalan di kereta tante…” aku berkata seraya menyerahkan tas
coklat miliknya.
Wajah wanita itu nampak terkejut sekaligus lega, “Ya, ampun…padahal saya
baru bilang kalau saya tidak pikun…” katanya disertai tawa renyah.”Ups…maaf…”
Aku menyerahkan tas itu terlalu terburu-buru sebab takut ketinggalan
kereta sehingga belum sepenuhnya benda itu terpegang, tasnya sudah keburu jatuh
ke lantai. Aku menggeleng,”Saya yang salah tante…sini, saya ambilkan…”
Aku menunduk hendak mengambil tas di lantai, terlambat menyadari kalau
orang-orang di sekelilingku berteriak-teriak dan berlari menghindar. Mendadak
terdengar bunyi letusan dari belakang…
BANG!!! BANG!!!
Kurasakan sebuah benda menggelincir di atas punggungku lalu jatuh
berdenting ke lantai batu, yang ternyata sebuah pisau lipat, kemudian tubuh
wanita tua itu jatuh tersungkur hanya beberapa meter dari tempatku berlutut…
KKKYYYAAAAAA….!!!
Aku menjerit histeris melihat perempuan paruh baya itu tewas dengan dua lubang
menganga di dada….syalnya yang kerap menutupi kepala dan lehernya tersingkap
dan menampakan garis merah memanjang di pipi kirinya…codet itu…jangan-jangan
perempuan tua ini si Codet Penusuk yang meresahkan para penumpang kereta. Bulu
kudukku mendadak berdiri… aku nyaris menjadi korban si Codet Penusuk yang
berikutnya…dan yang menyelamatkanku…masih dengan wajah syok aku berpaling dan
melihat lelaki bertampang berangasan itu berdiri dengan pistol teracung….
END
No comments:
Post a Comment