Wednesday, September 7, 2016

LUBANG JEPANG - 2

Sebelum memasuki bagian ini ada baiknya kamu yang belum mengikuti edisi minggu lalu tap in dulu kesini : LUBANG JEPANG - 1


BAGIAN 2

Emir dan kedua anak buahnya masuk ke ruang tahanan, segera meringkus Muklis yang sudah berdarah-darah baik sekujur tubuh maupun wajahnya…kini aku mengerti darimana dia mendapatkan puluhan bekas luka di perut, punggung, dan wajahnya. Dengan borgol membelenggu tangan kanan dan kirinya, Muklis kini berada dalam posisi berdiri terentang dengan punggung menempel pada jeruji besi.

“Apa yang terjadi?” tanya Emir.


Aku tidak menjawab, hanya menatap ketakutan pada Muklis yang tidak berhenti tertawa terbahak-bahak, lalu melengos dan meninggalkan tempat itu. Tak mempedulikan panggilan Emir.

Malamnya Emir masih berusaha mengorek apa yang terjadi tadi siang dengan mengajakku makan malam di restauran favorit tapi aku menolak, beralasan bahwa aku tak enak badan. Untungnya dia tidak memaksa sehingga malam itu aku punya waktu buat berpikir lebih tenang.
    
       Apa yang diucapkan Muklis di ruang tahanan tadi siang bukan khayalanku. Aku mendengarnya dengan jelas dan jernih, sejelas suara pena yang terjatuh ketika aku berada dalam ruang ujian. Dia jelas tahu soal Siti, juga yang lainnya, dan dimana keberadaan mereka. Pikiranku kembali pada ucapan itu…

“Fandi…lubang jepang….tolong aku…”

“Bodoh!” tiba-tiba berganti suara bentakan lelaki dan Muklis celingukan seperti orang bingung dan ketakutan. “Kamu akan membunuhnya…”

“Jeruji…lubang…jeruji…lubang…jeruji…” Muklis meracau berulang-ulang

“DIIIIIAAAMMMM !!!”

Sepertinya Muklis sedang bergelut melawan sesuatu di dalam dirinya dan apapun itu yang merasuki tubuh Muklis berusaha membungkam mulutnya agar tidak bercerita soal Siti dan yang lainnya. Menurutku Muklis bukan pelakunya tapi dia jelas tahu sesuatu…dia berusaha mengutarakan itu padaku…kalau begitu ada baiknya mendatangi lubang jepang itu untuk melihat-lihat ada apa disana.

Suhu Bukit Tinggi malam ini mungkin berada di angka tujuhbelas atau delapan belas celcius pada termometer, tapi aku tidak mempedulikan itu karena pikiranku dipenuhi dengan berbagai pertanyaan tentang apa yang mungkin kudapati di dalam gua yang ada di hadapanku itu. Aku celingukan sekali lagi buat memastikan tidak ada yang melihatku menerobos ke tempat itu sebelum menyalakan senter.  


Tempat ini sudah mengalami beberapa kali perbaikan dan renovasi demi mempertahankan bentuknya sebagai tempat bersejarah sekaligus pariwisata daerah. Saat Jepang membangun tempat ini sebagai liang perlindungan tentunya belum ada tangga berjenjang macam yang sedang kuinjak ini, atau alur besi yang digunakan sebagai penunjang pegangan, apalagi penahan atap yang berupa beton di atas kepalaku…meski penuh sentuhan peradaban macam begini keadaan di dalam sini masih tetap muram parah…
          
         Aku mengarahkan senterku berkeliling…cahayanya mengenai dinding-dinding kelabu yang tidak rata dan memantulkan angin dari dataran di sebelah atas…membuatku makin merapatkan jaket karena suhunya terasa semakin mengilukan tulang.

Sebenarnya aku tidak terlalu memerlukan senter karena pemda memperlengkapi bagian dalam gua dengan lampu penunjang yang meskipun bercahaya remang tapi cukup lumayan buat memandu arah, hanya saja berjaga-jaga rasanya nggak ada salahnya…aneh bukan masuk ke ruangan bawah tanah tanpa memegang senter?
         
           Darimana aku harus mulai?



       Untungnya aku sudah sempat menghafal peta yang ada di papan di dekat mulut gua. Bentuk tempat ini menyerupai huruf T dengan satu jalan masuk yang menyerupai kepala vacuum cleaner. Penyimpanan amunisi merupakan ruangan-ruangan yang pertama kali akan kutemui setelah menuruni jenjang penurunan, setelah itu aku akan mendapati ruang yang dipakai sebagai kegiatan utama berupa makan, pertemuan dan rapat, juga memasak.

Tempat peristirahatan tentara berupa barak merupakan ruangan yang paling banyak dibuat pada sisi horizontal landskap dari lubang perlindungan ini, ada sekitar 8 unit barak, sisanya ruangan untuk menyimpan barang keperluan diluar aktivitas militer dan penjara. Mereka juga membangun dua pintu keluar di bagian belakang hingga dapat menyingkir dengan segera bila musuh mengepung dari sebelah depan.

        Kuputuskan buat menyusuri jalan setapak gua di sebelah kanan dahulu dengan perlahan, sesekali menyorotkan senter ke sana kemari buat mencari celah yang kemungkinan menjadi tempat disembunyikan tubuh Siti dan teman-temannya…ya, Tuhan…kenapa aku berpikiran akan menemukan tubuh mereka? Bukankah itu sama artinya aku mendoakan mereka sudah tewas? Ucapan kan sama artinya dengan doa…
        
      Jalanan di tempat ini berhubungan satu sama lain, tidak terputus, meskipun fisiknya berbentuk T sebenarnya jalan setapak ini mengambil falsafah lingkaran…tanpa ujung dan tanpa pangkal…sehingga tidak ada sudut mati yang membuat para tentara bisa tersudut bila sedang dikejar musuh, lucunya aku baru menyadari hal ini sekarang…         

Aku memperhatikan jeruji yang menutupi beberapa ruangan seperti ruang amunisi. Muklis mengatakan soal jeruji-jeruji…apakah yang dia maksud dengan jeruji? Jeruji jelas menunjukkan sesuatu yang berhubungan dengan ruangan tapi ruangan apa? Jeruji yang mana?  Begitu banyak jeruji terpasang di tempat ini, di ruang amunisi seperti yang ada di hadapanku ini, atau di ruang siding, atau yang ada di salah satu barak berukuran kecil.

Dari delapan barak, ada tiga barak besar dan lima barak kecil. Barak besar ini pasti ruang untuk para tentara tingkat rendahan yang bisa dikumpulkan secara massal. Sementara barak yang berukuran kecil, sebagian digunakan menampung sisa para tentara tingkat rendah yang tidak muat di barak besar dan sebagian lainnya untuk mereka yang berada di tingkat menengah dan perwira.

Setelah ruang barak besar ini aku akan sampai di dapur, di tempat itulah aku menyatakan perasaanku pada Siti beberapa tahun silam. Kenapa harus di tempat itu? Mungkin memang itu terjadi begitu saja setelah kami berpegangan tangan sedemikian lama sewaktu menyusuri lubang ini, tempat demi tempat, dan di tempat itulah akhirnya debaran dadaku makin tak karuan untuk menumpahkannya. Namun bisa jadi karena tempatnya yang terpencil menghindarkanku dari rasa malu bila sampai ketahuan pengunjung lain.

Saat itu aku merasakan sesuatu melintas di belakangku…tepat di depan mulut ruang barak besar dimana aku sedang berada…aku menoleh dan sosok itu berlalu begitu cepat, meninggalkan langkah berlari yang terburu-buru. Aku menyapa, “Siapa itu?”

Karena tak ada jawaban aku keluar dari ruangan barak besar dan celingukan ke kanan-kiri tanpa mendapati siapapun. Langkah berlari tadi menyisakan penasaran saat pendengaranku menangkapnya mengarah ke ruang makan yang tak jauh dari situ.

Aku berjalan cepat ke ruang makan dan tempat itu juga kosong. Hanya ada meja kayu berdebu dan penuh sarang laba-laba ada di tengah-tengahnya, benda yang sangat tidak proporsional dan sepertinya bukan menjadi bagian dari masa lalu, meja bekas itu sepertinya ditempatkan disitu sebagai replika buat menunjukkan identitas ruangan yang akhirnya terbengkalai seiring waktu.

“Halo ?”

Terdengar bunyi batuk samar…

“Kamu ada disini?”

Aku tersenyum kecut mendengar batuk samar sekali lagi dari bawah meja yang sepertinya menjawab pertanyaanku secara tidak langsung.Sedikit jengkel karena dipermainkan macam itu aku tetap berjongkok menyibakkan sarang laba-laba itu untuk melihat kemungkinan siapapun yang bersembunyi disana dan bermain-main denganku layaknya anak kecil main petak umpet.

Saat sarang laba-laba itu terkuak, lapisan debu pun berhamburan keluar dan menyembur ke wajah hingga membuatku bersin-bersin sedikit. AKu mengarahkan senterku ke bawah meja tapi tidak mendapati siapapun disana. Dan saat itu aku mendengar kembali langkah berlari di belakangku, kali ini disertai suara tertawa puas seakan dia berhasil memainkanku…tawa laki-laki…

“Muklis?” kali ini aku bertanya dengan lebih keras, nama itu kusebut karena aku mengenali suara tawanya, tawa yang mengiang-ngiang meninggalkan bekas tak terlupakan di kepalaku saat berada di ruang tahanan.

Aku bergegas mengikuti langkah berlari itu…mengejarnya…cahaya senterku sempat menangkap sekilas bayangan sosok itu saat dia berbelok menuju ke lorong yang terhubung ke ruang amunisi. Aku berdiri di ujung lorong yang temaram itu, meluruskan lengan yang memegang senter agar lebih banyak cahaya merembes masuk membantu penerangan di langit-langit yang kekuatannya hanya lima watt.


Langkah berlari itu menghilang, jadi kuputuskan mencari ke dalam sana diantara deretan ruang amunisi, orang iseng itu pasti ada di salah satu ruangan itu. Sambil menahan laju senter dengan sebelah telapak tangan aku berjalan maju. Telinga dipertajam dan mata terus mengawasi sekitar.

Ruang amunisi itu hanya ruangan kosong, mungkin dulu penuh dengan berpuluh-puluh peti berisi granat, bahan peledak, peluru, atau pun senjata, tapi sekarang tempat itu hanyalah ruangan berukuran tiga kali enam meter yang berbau apek dan dipenuhi sarang laba-laba yang tidak terlalu tebal sehingga senterku dapat menembus ke sisi sebelah dalam, mendapati jeruji di pintu seberang.


Jeruji…

Mendadak hatiku berdebar mengingat soal jeruji. Apa mungkin jeruji ini yang dimaksud Muklis?

Yang jelas bukan jeruji ruang tahanan dimana dia sekarang berada. Orang brengsek itu akan menyesali perbuatannya atas apa yang dia lakukan pada Siti kalau aku bisa membuktikan dia bersalah…

Dia tidak ada di empat ruangan pertama…baru di ruangan kelima aku melihat sosok itu…lelaki itu duduk bersimbuh di lantai memunggungiku…tak memakai apapun di bagian sebelah atas tubuhnya… aku tidak mengerti bagaimana dia bisa tidak mempedulikan udara sedingin ini karena dengan jaket tebal yang kukenakan di tubuh ini saja masih begitu menyengat…dia bernafas dengan begitu tenangnya tanpa peduli kehadiran diriku di belakangnya…

“Muklis? Bagaimana kamu ada disini?” aku menegur.

Lelaki itu menegakkan tubuh dan memutar kepalanya perlahan. Aku terbelalak ngeri saat kepala itu memutar aneh, semakin lama semakin melebar ke belakang, dan tanpa bisa kujelaskan bagaimana bisa terjadi terputar seratus delapan puluh derajad hingga pandangan kami saling bertemu…ini gila… manusia normal mana mungkin melakukan yang seperti itu…

Muklis menyeringai ganjil saat sepasang lengan dan kakinya mengangkat tubuhnya dan bergerak ke arahku dengan posisi yang tidak akan dilakukan makluk normal manapun di muka bumi. Aku tidak bisa menggerakan tubuhku karena ketakutan. Berteriak ngeri begitu kerasnya ketika makluk aneh itu menerjang ke arahku…senterku terjatuh saat aku mengangkat tangan untuk melindungi diri…namun beberapa meter sebelum makluk itu menyentuhku lampu di seluruh ruangan padam.

Kudongakkan kepala buat memastikan lampu yang mati ini sesuatu yang nyata, tidak mengira akan selamat dari serangan itu, perlu waktu beberapa menit buat meredakan tubuh yang gemetaran sebelum aku mampu mengambil senter yang tergeletak di lantai. Kusorotkan cahaya senter ke sekeliling tapi makluk yang kusangka Muklis tadi sudah hilang.

“Sial…apa itu tadi sungguhan?” aku membatin.

Aku menjerit ketika merasakan sesuatu mencengkeram bahuku dari belakang. Sontak memberontak untuk membebaskan tubuhku agar menjauh sebelum terdengar suara menegur, “Fandi? Ini aku!”

Kusorotkan senter ke samping dan melihat wajah Emir. Temanku itu menutup matanya karena kesilauan. Dia mengerang kesal, “Turunkan itu, bodoh!”

“Emir? Apa yang kamu lakukan disini?”

“Muklis gila itu melarikan diri dari sel tahanan. Aku dan dua anak buahku mengejar dia kemari,” jawab Emir.

“Melarikan diri?” aku bertanya tanpa merasa heran, berarti memang Muklis yang tadi kulihat. “Bagaimana bisa?”

“Aku juga tidak tahu bagaimana bisa, tapi kami memergoki ruangan sel kosong. Borgol yang membelenggu lengannya tergantung di jeruji.”

“Aku melihatnya baru saja,” komentarku.

“Kelihatannya begitu…” Emir menatapku dengan pandangan menyelidik. “…masalahnya apa yang kamu lakukan di tengah malam buat sendirian disini? Bagaimana kamu bisa masuk?”

Belum sempat menjawab terdengar seruan keras dari belakang Emir. Wajah temanku itu jadi lebih gusar dari sebelumnya, aku merasakan di sekitar sini ada kejadian yang tak kuketahui sebelumnya dan itu diluar kekuasaan Emir, mungkin itu sebabnya dia mengambil pistol dari sarung di pinggang sebelum pergi ke arah suara, “Brengsek! Dia juga menyerang Hilman…”  

Aku hendak bertanya namun sang petugas aparat keburu berbalik lalu berlari mengejar ke arah suara sambil berseru-seru memanggil, “BERTAHANLAH…HILMAN…” sementara jeritan anak buahnya perlahan melenyap.

Tak ingin sendirian berada di tempat mengerikan ini, sekaligus ngeri kalau-kalau monster aneh tadi masih berada di sekitar tempat itu, aku pun berlari mengikuti Emir. Sayangnya dia berlari terlalu cepat, kegelapan ruangan juga menghambatku, beberapa kali aku terantuk alas lantai yang tidak rata, perhatian yang terpecah membuat cahaya dari senter Emir yang berada enam meter di depanku bergerak semakin mengecil…mengecil…sampai akhirnya aku kehilangan temanku itu di lorong menuju sisi timur dimana penjara berada.     

“Emir?” aku memanggil.

Begitu sampai di titik terakhir dimana kulihat cahaya senter Emir sirna aku menyadari bahwa aku berada di depan mulut penjara. Bulu kudukku meremang melihat pintu penjara terbuka. Pintu itu seharusnya dalam keadaan tertutup…aku juga ingat ada gembok terpasang di selotnya untuk mencegah pengunjung membukanya dan masuk…


Tapi kini pintu itu membuka dalam posisi terpentang lebar keluar sementara gembok yang seharusnya menggantung di selot tergeletak di lantai…aku menahan nafas, pintu penjara ini terdiri dari jeruji…apakah mungkin jeruji ini yang dimaksud Muklis….jeruji di Lubang Jepang….

“Emir?” aku menyorotkan senter ke depan tapi cahayanya hanya mampu menyorot sejauh tiga meter saja ke dalam, selebihnya gelap, aku tidak bisa melihat lebih jauh ke ujung penjara ini padahal dari papan peta diluar penjara ini sebenarnya hanya ruangan sedalam tiga meter lebih…

Karena itu aku terkejut bukan main ketika pria itu muncul dari sisi sebelah kiri mulut penjara, tampang dan tubuhnya yang lusuh sama seperti yang kulihat beberapa jam sebelumnya di sel tahanan Mapolres, bedanya dia terlihat lebih waras. Matanya tidak lagi menerawang kosong, yang ada disana adalah sejumlah kewaspadaan, kekuatiran, dan juga kebingungan yang tidak dibuat-buat.

Dia mengenaliku, matanya terkejap-kejap seraya mengangkat tangan untuk mengurangi kuatnya cahaya senterku yang menyorot kepadanya, “Fandi?”

Aku diam…tak langsung menjawab…wajah membeku disertai rahang yang mengeras…menahan trauma karena tidak ingin apa yang terjadi padaku di ruang amunisi beberapa menit sebelumnya terulang kembali…sebab kali ini tidak akan ada lagi yang melindungiku bila dia menyerangku begitu rupa…

“Fandi…ini aku…Muklis…”

“Apa yang kamu lakukan disini?” aku bertanya dingin.

“Kamu harus menyelamatkan mereka…mereka ada disana…” dia menunjuk ke belakang mulut ruang penjara.

“Maksudmu mereka ada disana?” aku bertanya, masih dengan sikap defensif.

“Siti dan yang lainnya…”

Instingku semakin awas, tidak dapat mempercayainya begitu saja, “Kamu membunuh Siti?”

Muklis menampakkan wajah kaget, “Siapa yang mati? Tidak! Dia tidak mati…dia masih hidup di dalam sana…”

“Lalu dimana Emir?”

“Siapa Emir?” Muklis bertanya.

“Emir dan anak buahnya…mereka baru masuk kemari beberapa menit lalu…”

“Aku tidak tahu siapa Emir, tapi kamu harus ikut aku buat menyelamatkan Siti…”

“Katakan dulu dimana Emir,” aku menggeleng. “…kalau tidak aku tidak akan ikut denganmu.”

“Sudah kubilang aku tidak tahu siapa Emir. Ayo, cepat…jangan buang waktu atau mereka akan membunuh Siti,” Emir berkata gelisah, pandangannya kembali liar secara perlahan, menengok kesana-kemari seolah takut ada yang menguping pembicaraan kami.

“Bagaimana kamu bisa kabur dari ruang tahanan? Kamu apakan Emir dan anak buahnya?”

“Ayo, kamu harus ikut aku..bantu aku menyelamatkan SIti…”

Aku menggeleng, “Tidak! Kamu membunuh Siti dan yang lain…kamu juga membunuh Emir dan polisi-polisi itu…aku tidak sebodoh itu, Muklis…” aku menggeleng lagi dan perlahan-lahan mundur.

Melihat ini Muklis jadi histeris, “Jangan kesana, Fandi…”

Aku tidak peduli, berjalan mundur lebih cepat buat menjauhi pintu penjara dan Muklis yang kelihatannya sudah bersiap-siap mengejar dan menerjangku kalau aku tidak kembali kesana. Baru saja berbalik aku merasakan benda keras menghajar rahangku…dunia serasa meledak di kepalaku…gelap yang menyelimuti penglihatanku rasanya juga lebih pekat dari kegelapan yang meliputi ruangan…dan aku tak sadarkan diri…

Aku terbangun saat merasakan ada telapak tangan memukul-mukul pipiku beberapa kali, bukan jenis pukulan lembut seperti yang dilakukan seorang ibu untuk membangunkan bayinya agar makan, ini lebih mirip tamparan yang kau beri kepada pemabuk yang muntah di mobilmu…aku pernah melakukan itu pada bossku saat dia pulang dengan mabuk dari sebuah pesta tahun baru yang diadakan perusahaan, dia muntah di mobil perusahaan dan membuatku kesal karena harus memondongnya naik ke ranjang di rumahnya.

Mataku membuka namun masih belum dapat melihat dengan awas sepenuhnya, aku bangun dengan terpaksa ketika seseorang menarikku. Masih kebingungan atas apa yang terjadi orang yang menarikku barusan menendang bagian belakang lututku untuk membuatku berlutut….tahu-tahu dua buah tangan menyeruak masuk ke mulutku dan membukanya dengan paksa…memegang dan menekan gigiku dengan cara tidak nyaman…membuka kedua mataku, satu demi satu, lebar-lebar lalu menyoroti dengan lilin seakan sedang melakukan pemeriksaan.

Orang yang berdiri di hadapanku berkomentar dalam bahasa asing setelah selesai ‘memeriksa’ ku, sesuatu yang bernada puas, lalu orang yang berada di belakang membuatku berdiri dan aku dikembalikan ke barisan.

Baru pada saat itulah aku menyadari sepenuhnya dimana aku berada, terjepit di antara Emir dan pria-pria lain yang tak kukenal. Mereka semua berlutut dengan kepala tertunduk, semuanya seperti ketakutan akan sesuatu, begitu pula Emir yang terlihat tersiksa karena ingin mengatakan sesuatu padaku. Keganjilan lainnya mereka semua, termasuk aku, tak memakai apa pun kecuali cawat yang membungkus aurat kami.

Aku mendengar suara-suara dalam bahasa asing itu lagi dan mengenali suara orang yang tadi memeriksaku, berselang beberapa detik kemudian serombongan pria berpakaian militer berwarna coklat tua memondong usungan yang berisi mayat-mayat. Mereka mengobrol singkat, salah satunya melirik kami dengan senyum tipis, lalu yang memondong usungan pergi meninggalkan tempat itu.  

Aku kaget mengenali salah satu dari mayat yang ada dalam usungan. Siti ada disitu. Gadis pujaanku itu teronggok seperti daging tak berharga dengan tubuh hanya dibalut cawat dan penutup dada seadanya. Aku terpekik kecil secara tak sengaja dan orang berpakaian militer yang berdiri di dekatku menoleh. Pandangannya begitu buas saat memakiku dalam bahasa yang tak kumengerti… sepertinya itu bahasa Jepang bila melihat perawakan mereka…

“BAKAYAROOO….”

Umpatan itu diikuti lecutan yang bunyinya meledak saat membelah udara. Aku merasakan perih yang amat sangat di bahu kiriku dan tahu-tahu merasakan hangatnya darah yang turun ke dadaku. Aku mengernyit karena kulit di bahu kiriku koyak.

Dua orang prajurit tiba-tiba maju dan melemparkan sejumlah perkakas…ada linggis, pacul, cangkul, palu, dan godam…pecut itu kembali menghantam udara dan aku mengikuti yang lain dengan patuh mengambil salah satu dari peralatan itu. 

Semua seperti kerbau dicucuk hidungnya, entah karena ketakutan pada pecut yang menghajar bahuku hingga berdarah atau pada perintah prajurit yang memeriksaku, pada saat bersamaan bicara dengan bahasa Indonesia yang terpatah-patah,

“Waktu bekerja! Gali lubang...sebelum para gerilya tolol itu serang kami…”


"Sudah gue ceritakan kisah elu...tenanglah disana..."

END 

1 comment:

  1. Lagi seru- serunya baca...lho kok tamat....argh.....perlu di sambung..please.

    ReplyDelete