Wednesday, August 31, 2016

LUBANG JEPANG - 1

CERITA PENDEK BAGIAN 1


Kembali ke Bukit Tinggi seharusnya menjadi sesuatu yang menyenangkan buatku…

Bayangan bagaimana gadis itu menungguku disana, dengan kecantikan yang tak bisa dipudarkan oleh hijab dan baju gamis sederhana yang selalu menjadi apa yang dipakainya dalam keseharian, wajahnya yang selalu mengganggu asaku setiap aku mengerjakan pekerjaan remehku sebagai supir kantor sebuah perusahaan otomotif di Jakarta.

“Pengusaha rental mobil…” itu yang kerap kubilang pada gadis itu dan juga orangtuanya yang ingin tahu mengenai pekerjaan dan kemampuanku untuk menghidupi setidaknya diriku sendiri. Meski tidak bermaksud menipu, aku yakin bisa menghidupinya dengan apa yang kulakukan sekarang…dengan catatan dia tinggal di Bukit dan aku di Jakarta…

Membumbungkan rasa kangen yang tidak tersalurkan akibat jarak yang memisahkan. Hal yang kupendam dengan sangat saat berpisah dengannya lima tahun lalu, saat aku memutuskan merantau ke Jakarta dengan segala semangat dan keyakinan akan kemampuanku memasak rendang… tapi nyata-nyata akhirnya keahlian menyupir mengakhiri segalanya…

Kupikir cukup sekali itu kenyataan membuatku kecewa saat aku menemui Bapak dan Ibu Amrizal dan mereka menangis sesunggrukan di sofa itu…membuatku kikuk tidak mengerti harus bagaimana kecuali duduk dengan kaki tertekuk rapat satu sama lain dan tangan memeluk lutut…menunggu hingga derai air mata habis dan mereka bisa bicara…

“Nak Fandi tidak tahu apa yang terjadi sama Siti?”

“Memang ada apa dengan Siti, mak?” aku balik tanya. “Kami sering bersuratan dan nampaknya Siti biaso sajo…”

Keduanya memandangiku sepertinya aku sudah gila. Sayangnya aku meninggalkan semua surat Siti di Jakarta sehingga tidak bisa kutunjukkan pada mereka, “Siti hilang, nak! Sudah lima bulan indak pulang ke rumah. Kami sudah mencari kemanapun tidak ketemu.”

Hilang?

Itu menjawab pertanyaanku kenapa selama lima bulan ini suratku tak berbalas dengannya. Kupikir Siti benar-benar putus harapan akibat paksaan orangtuanya, yang tampaknya masih hidup dalam jaman dimana Siti Nurbaya berjuang menentang perjodohannya dengan Datuk Maringgih, dan menerima pinangan Muklis untuk menikah. Pertanyaan itu pula yang akhirnya mendorongku kembali ke kampung halamanku ini buat mencari tahu…dan apa yang kudengar membuatku tidak percaya…

“Hilang bagaimana, mak?”

“Terakhir kali berpamitan dia hendak pergi bersama kawan-kawannya Kadir, Badrun, Hapsari, Leyla, dan…” nama terakhir mereka ucapkan dengan pelan dan berhati-hati. “…Muklis.”

Aku tahu siapa Muklis, dia dulu teman satu sekolah kami – aku dan Siti – yang pendiam dan agak sedikit aneh tapi semua orangtua sepertinya berharap anak gadis mereka bisa menikah dengannya sebab orangtua Muklis merupakan pemuka nagari dan nampak selalu berlebih uang dari petak-petak sawah yang dimiliki inyak-mamak dan turun ke orangtuanya.

Dan itu termasuk keinginan orangtua Siti, dalam suratnya beberapa bulan terakhir Siti banyak mengadu bagaimana orangtuanya mendorongnya menikahi Muklis, apalagi pria itu sekarang sudah sukses menjadi Wakil Kepala Cabang di salah satu bank dimana nagarinya berada. Beberapa kali orangtua Siti yang memang berkawan dengan orangtua Muklis ‘sengaja’ mempertemukan anak mereka dengan harapan terjalin cinta antara keduanya.

Sosok Muklis tentu makin membuat silau mata kedua orangtuanya, dibandingkan dengan seorang Fandi, yang sudah akrab dengan Siti sejak SMA. Untungnya dia tidak pernah masuk ke keluarga Amrizal sebagai pacar Siti, gadis itu tahu bagaimana kolotnya orangtua sehingga di depan mereka Siti menganggap Fandi hanyalah teman dekat, layaknya seorang kakak.

“Tapi hari itu mereka semua tak kembali…”

“Hanya Muklis yang kembali,” ralat sang ayah. “Tapi dia menjadi gila. Polisi tidak bisa menanyai dimana teman-teman lainnya…termasuk Siti.”

“Dugaan polisi, Muklis membunuh mereka semua dan menyembunyikan mereka di suatu tempat lalu pura-pura jadi gila,” kata sang ibu.

“Bagaimana dia pura-pura kalau telanjang bulat di jalanan pun dia tidak malu?” serga sang ayah.

“Pembunuh pasti mau melakukan apapun supaya menutupi kesalahannya,” elak sang ibu.

Nampaknya ini akan jadi perdebatan beberapa ronde yang sengit bila aku tidak menyudahinya, “Lalu dimana hilangnya mereka?”

“Siti bilang mereka mau main ke Lubang Jepang.”

Serangkaian gambaran jelek melintas dengan menggila di pikiranku…itu adalah tempat aku menyatakan cinta pada Siti pertama kalinya di bangku kelas dua SMA…tempat yang seharusnya menjadi tempat ‘suci’ kami…kemarahan menguasai setengah bagian diriku karena gadis itu tega mengajak pria yang aku benci datang ke tempat itu.

Siti tahu aku tidak suka Muklis…itu kutulis langsung beberapa kali pada suratku. Seharusnya dia bisa menolak ajakan Muklis, meskipun dia pergi kesana bersama beberapa orang lainnya. Nyatanya dengan mengajak Muklis masuk kesana sama saja merusak kenangan indah yang kami bagi bersama…

Setengah bagian lain yang berpikiran logis mengejek kecemburuan yang membuatku marah, memangnya kemana lagi mereka mau pergi kalau tempat wisata di Bukit Tinggi hanya Jam Gadang, Kebun Binatang, Jenjang Seribu, dan Lubang Jepang?

Jam Gadang terlalu ramai dan tidak menyenangkan bila mereka ingin tampil eksklusif, tidak ingin diganggu kehadiran orang lain. Mereka bukan lagi anak kecil yang terkesima dengan binatang-binatang. Rasanya juga melelahkan sekali bila harus mendaki jenjang seribu yang entah sudah berapa kali didatangi para pemuda-pemudi Bukit seperti Siti dan dirinya, sehingga Lubang Jepang jadi alternatif pilihan yang menyenangkan karena disitu dingin dan sejuk.

Kegelapan yang meliputi sekitar membuat siapapun yang berada di dalamnya pasti mengalami romantisme yang kurasakan saat bersama Siti. Degub jantung yang berhentak cepat dan tubuh yang entah bagaimana bisa membara begitu cepat saat memegang tangannya…dengan takut-takut karena tak ingin gadis pujaanku menarik tangannya dengan spontan sebagai pertanda tak menyukainya. Namun Siti membiarkan tangannya tergenggam dalam tanganku dan tersenyum sumringah saat aku menyatakan perasaan…

Aku keluar dari lubang yang katanya angker itu sebagai pemenang karena statusku sewaktu keluar dari sana sudah berbeda dari sebelum masuk. Sejak saat itu tidak ada lagi perasaan tersembunyi yang harus kupendam bagi Siti…tak ada lagi dinding yang memisahkan…aku bisa mencurahkan semua… dan itu yang terpenting…


Seperti yang dikatakan pikiran sehatku, setelah peristiwa maha penting itu, aku juga beberapa kali mengunjungi tempat itu, apalagi ketika saudara-saudaraku dari Jakarta datang setiap mudik lebaran. Namun tempat yang tadinya kuanggap biasa-biasa saja punya aura berbeda setiap aku menginjakkan kaki disana. Bayangan wajah Siti pun terpatri di mulut gua…dan ingatan tentang senyum merekahnya ketika aku bilang naksir dia…

“Banyak kejadian aneh di tempat itu,” kata Emir, teman lamaku yang kini bekerja sebagai polisi di Polres Bukit Tinggi. “Kamu ingat berita tentang puluhan mayat yang ditemukan di ngarai di bawah pintu besi sebelah utara lubang itu?”


Aku berpikir sebentar lalu menggeleng, “Kau tahu berita kriminal tak pernah menarik buatku dari kecil. Itu sebabnya kau yang sekarang jadi polisi.”

“Itu kematiannya yang masih misterius. Aku ingat waktu itu polisi tidak ada yang mengetahui darimana orang-orang itu datang dan bagaimana mereka berakhir disitu.”

“Mungkin mereka wisatawan yang jatuh saat mendaki?”

Lagi-lagi aku melihat pandangan aneh yang dilakukan orangtua Siti dari Emir, “Wisatawan mendaki? Mana ada gunung dekat Lubang Jepang?”

Aku mengangkat bahu, “Entahlah, aku asal cakap.”

“Lalu sekitar lima tahun lalu ada juga mayat-mayat ditemukan di pembangunan Jenjang Seribu?”

“Aku tidak tahu soal itu karena aku sudah di Jakarta.”

“Kabar burung mengatakan itu pekerja yang tewas karena kecelakaan sewaktu membangun Jenjang tapi tidak ada yang mengenali mereka setelah aku menanyai kontraktor yang mengerjakan pembangunan itu satu per satu.”

“Lalu apa maksudmu? Lubang Jepang itu angker, begitu?”

“Kupikir begitu…”

Aku tertawa keras-keras, “Kau gila, Emir! Tempat itu sudah ada dari kita kecil. Dan dari dulu memangnya kita pernah dengar tempat itu angker? Kalau iya, mana berani pemda buka Lubang sebagai tempat wisata?”

“Mungkin bukan angker…misterius lebih tepatnya…kamu pernah mikir bagaimana Jepang yang berkuasa hanya 3,5 tahun di Indonesia bisa bikin lubang sebegitu besar yang hampir menguasai sebagian besar wilayah di bawah tanah Bukit?”

“Entahlah! Buat apa aku mikir berat-berat macam begitu?” aku mengangkat bahu. “Yang penting buatku bagaimana kamu bisa menemukan Siti dan yang lainnya…bukan berkilah dengan menceritakan soal misteri-misteri disana…”

Ucapan yang terlalu sombong buat dilontarkan kepada seorang penyelidik polres, tapi apa peduliku? Emir hanya tahu aku ini perantau di Jakarta, apa yang kulakukan disana dia tak perlu tahu, dan buat orang kampung halamanku perantau selalu mendapat penghormatan tinggi, apalagi kami sudah berkawan akrab sejak kecil sebelum jabatan menempel di pundak Emir.

“Aku tahu ini berat buat kamu…” kata Emir menyadari keputusasaanku, dia juga maklum karena mengetahui hubunganku dengan Siti. “…tapi kami sudah berusaha sebisa mungkin sejak ampe* (read : empat) bulan lalu. Tetap saja mereka belum ketemu.”

“Lima orang hilang bersamaan dan polisi belum bisa menemukan dimana mereka berada?”

Emir mengernyit seperti binatang terluka, “Kami masih cari cara mengorek keterangan dari orang gila. Itu tidak mudah dan butuh waktu.”

“Kenapa kalian tidak mencari di ngarai di bawah lubang itu…siapa tahu mereka jatuh seperti mayat-mayat misterius yang kamu bilang itu…atau di sebelah atas dekat puncak Jenjang Seribu? Atau di salah satu liang di dalam lubang?”

“Kamu pikir kami tidak melakukan itu semua?” sergah Emir dengan jengkel. “Sebelum kamu berucap, saya sudah suruh anak buah saya mencari ke semua tempat itu.”

“Kalau begitu kasih ijin aku ketemu Muklis.”

“Buat apa?” Emir angkat alis.

“Siapa tahu aku bisa membantu kalian mengorek sesuatu darinya?” dan aku menambahkan dengan entah kebohongan atau mungkin juga kebenaran personal, sesuatu yang hanya aku ketahui tentang Muklis dari surat-surat Siti. “Aku tahu sesuatu yang bisa membuatnya bicara…aku mengenalnya dengan baik…”

“Apa kamu sedekat itu dengan Muklis?” Emir bertanya sangsi. “Bahkan dengan istrinya pun dia tak mau bicara.”

“Istri?” hatiku mencelos. “Jadi dia sudah punya istri?”

“Pria seperti Muklis mana mungkin belum menikah?” Emir tertawa. “Dia sudah menikah dengan gadis dari Pariaman bernama Jubaidah…mungkin kamu kenal?”

“Jubaidah yang dulu berbadan paling gemuk di kelas?” tanyaku tak percaya.

“Ya, itu dia…” sahut Emir nyengir lebar.

“Bagaimana Muklis bisa menikah sama Jubaidah?”

“Mana aku tahu? Tapi mungkin itu sebabnya Muklis kepingin punya istri lagi.”

Wajahku memanas mendengar perkataan Emir, meski tahu aku menyukai Siti dia tetap saja mengatakan itu kepadaku dengan seenaknya, tak terbayangkan betapa jengkelnya aku mendengar itu, sekaligus merasa betapa hinanya Siti jika sampai mengorbankan perasaannya hanya untuk menjadi pilihan kedua sementara dia bisa bahagia menjadi bintang utamaku…

“Ijinkan aku ketemu Muklis sebentar saja.”

“Selain keluarga, orang sipil tidak boleh ketemu, kawan! Itu karena dia menjadi saksi kunci kasus aneh ini, jadi tidak sembarang orang bisa bicara dengannya.”

“Bagaimana kalau kamu kasih aku kesempatan buat mencoba menanyai saksi kuncimu? Kan tidak ada salahnya?” aku masih berusaha memaksa.

“Percayalah, dia berada di tangan ahlinya sekarang. Begitu ada informasi terbaru aku akan beritahu kamu.”

Pertemuanku dengan Emir berakhir sia-sia hari itu, meski tidak sepenuhnya kalau kupikir-pikir lagi. Entah bagaimana besoknya Emir memanggilku. Dia minta aku bersiap-siap menemaninya bertemu Muklis. Apa yang tiba-tiba membuat dia berubah pikiran begitu?

“Psikiater yang memeriksanya mengirim pesan padaku kemarin. Muklis menyuruh dia supaya aku membawamu menemuinya…”

“Darimana dia tahu aku disini?” tanyaku heran.

Emir hanya mengangkat bahu…

Aku sama sekali tidak bisa mengingat bagaimana rupa Muklis ketika masih remaja dulu. Orang yang duduk di hadapanku ini sangat berbeda dari yang kuingat, dia kurus sekali…sangat kurus dengan tulang melekat di sejumput daging mengeriput, tulang-tulang tubuhnya bertonjolan di berbagai sudut dan rambut yang berantakan begitu serasi dengan janggut yang tumbuh tak terawat di bagian bawah wajahnya. Harus menahan diri pada bau tak sedap yang keluar dari sekujur tubuhnya…

Dia duduk dengan pandangan kosong, bahkan ketika aku masuk ke dalam ruangan itu, ruang khusus dengan jeruji di keempat sisinya dan kelihatannya menjadi tempat yang pas bagi satu-satunya makluk yang tinggal di dalam sini…makluk yang menurutku lebih pas disebut binatang daripada manusia…persis yang dikatakan orangtua Siti, Muklis telanjang bulat tanpa berkeinginan menutupi aurat tubuhnya.

Bagaimana mereka bisa membiarkannya dalam keadaan menyedihkan macam ini?

Hampir saja aku memaki aparat-aparat yang tidak berperikemanusiaan itu seandainya mataku luput melihat tumpukan selimut dan sarung di sudut ruangan, dari situ aku paham bahwa polisi dan psikiater sudah berusaha sedapat mungkin mengenakan norma kesopanan padanya dan itu sepertinya sebuah usaha yang sia-sia…

“Muklis?”

Tak ada jawaban. Orang yang kusapa duduk di lantai dengan pandangan tololnya. Kosong dan seakan tidak merasakan kehadiranku disana. Aku menimbang sejenak sampai akhirnya memutuskan duduk di lantai, berhadap-hadapan dengan orang gila ini. Sekali lagi memandanginya dan aku membulatkan tekad bahwa aku memang benar-benar tidak mengenal Muklis yang ini…

Aku memanggil sekali lagi, “Muklis?” tak ada jawaban. “Katanya kamu mencariku?”

Pria itu tak menjawab, dia malah menggerak-gerakan kepalanya perlahan ke kiri dan ke kanan, menyerupai ular kobra yang kulihat di pasar malam saat aku melihat atraksi Rajiff, fakir India yang datang mempertontonkan keahliannya menyihir ular dengan lantunan nada-nada sulingnya. Matanya masih menatap kosong meski aku sudah berusaha memfokuskan pandanganku tepat ke sepasang bola matanya…dan anehnya tak berkedip barang sedikit pun.

“Kamu kirim pesan…katanya kamu mencariku? Aku Fandi.”

Mendengar namaku ekspresinya berubah…ada ketidak percayaan…rasa bersalah…tapi sekaligus harapan…mulutnya bergetar dan bola matanya mulai bergerak liar layaknya penari bali. Mendadak seluruh tubuhnya gemetaran hebat dan tanpa aku sadari tahu-tahu dia memegangi kedua tanganku, “Fandi…lubang jepang….tolong aku…”

“Siti?” aku kaget bukan main, bukan hanya karena pria sinting ini tiba-tiba memegangi lenganku dengan kencangnya tapi suara yang keluar dari mulut pria itu jelas-jelas suara perempuan.

“Bodoh!” tiba-tiba berganti suara bentakan lelaki dan Muklis celingukan seperti orang bingung dan ketakutan. “Kamu akan membunuhnya…”

“Jeruji…lubang…jeruji…lubang…jeruji…” Muklis meracau berulang-ulang

“DIIIIIAAAMMMM !!!”

Aku menutup telinga karena teriakannya menggema di seluruh penjuru dinding tempat tahanan. Kepanikan makin melandaku ketika Muklis meloncat berdiri lalu menabrakkan tubuhnya ke sisi kanan jeruji tahanan, membuat dinding-dinding jeruji bergoyang hebat dengan meninggalkan dengingan samar.

Muklis terjengkang ke belakang, seperti tidak merasakan apapun bangun lagi dan berlari ke arah jeruji. Kali ini kepala mengarah di depan seperti banteng yang hendak menanduk dan batok kepalanya yang mendapat giliran berikut menghajar jeruji ruang tahanan. Benturan yang begitu keras sehingga tanpa sadar aku melangkah mundur, mustahil ada manusia normal selamat dari benturan semacam itu, tulang kepalanya pasti hancur...

Muklis yang malang menabrakan tubuhnya kembali…lalu lagi…jelas sekali dia tidak menginginkan itu tapi sepertinya dia tak kuasa melawan kekuatan yang menguasai tubuh dan pikirannya…ini harus dihentikan…

“TOLOONNGG…TOLLOONNGG…DIIAAA JADDIIII GILLLAAAA…”
                

PENULISNYA NUNGGU INSPIRASI DULU SEBELUM KE BAGIAN 2 

No comments:

Post a Comment