Aku
menatap kaos kaki merah yang terpasang di dinding kamar. Kaos kaki berbentuk
lucu yang merupakan hiasan yang biasa dipakai oleh mereka yang merayakan natal.
Seumur hidup aku tidak merayakan apa yang dinamakan natal, itu karena orangtuaku mengenalkanku pada keyakinan akan kebajikan, karma, dan reinkarnasi…
Bahwa apa yang kulakukan di dunia saat ini
nantinya akan mendapat balasan kehidupan setimpal di kehidupan yang akan
datang…karena itulah mami marah besar saat aku membawa kaos kaki itu, mungkin
wanita itu mengira aku akan berpindah keyakinan…tapi bukan itu yang ada di
pikiranku…
Aku
mendengar tentang sosok bernama Santa Claus ini…sosoknya seorang pria bertubuh
tambun dengan rambut dan jenggot lebat seputih salju dan dia punya kebaikan
hati untuk mengabulkan permintaan apapun sebagai hadiah natal. Rasa penasaran pada
sosok yang satu itu membuatku bertanya pada Serafina, sahabatku, tepat setahun
lalu di tanggal yang persis sama seperti hari ini…
“Bagaimana
dia bisa masuk ke dalam rumah?” tanyaku.
“Sebagian
besar orang bilang lewat cerobong asap,” jawab Serafina.
“Tapi
bagaimana kalau rumah kita tidak punya cerobong asap? Rumah di Indonesia mana
ada yang punya yang begitu?”
“Ada
yang bilang lewat jendela yang terbuka atau celah apapun yang disediakan rumah
kita,” kata Serafina.
“Bagaimana
bisa? Badannya kan gemuk…mana bisa dia lewat?”
“Nggak
tahu, deh ! Aku kan bukan Santa Claus jadi maaf ya kalau nggak bisa jawab
pertanyaan elu,” kata Serafina tak sabaran. “Kenapa sih tiba-tiba elu tertarik
sama Santa Claus?”
“Kemarin
lihat film natal dan kayaknya seru aja lihat kalian menggantung kaus kaki lalu
menulis permohonan buat Santa Claus supaya dapat kado…”
“Tradisinya
memang begitu. Tapi Santa Claus hanya legenda.”
“Legenda
bagaimana?”
“Tidak
ada yang namanya Santa Claus.”
“Jadi
tokoh itu hanya buatan orang Kristen saja?”
“Bukan.
Sosok yang sesungguhnya memang ada, Santo Nicholas yang hidup di Yunani pada
abad ke-4 dimana dia memang suka memberi hadiah buat orang miskin, janda, dan
anak-anak. Sosok Santo itu memang mirip dengan yang kamu bilang, berjenggot
tebal dan selalu mengenakan jubah. Namanya berganti dari Santo Nicholas menjadi
Sinterklas lalu Santa Claus pada abad pertengahan…”
“Aku
nggak tertarik sama uraian sejarah,” kataku memasang tampang mengantuk.
“Hahaha…sorry
aku kira…” Serafina jadi salah tingkah. ”Aku cuma mau kasih tahu kalau sosok
yang menginspirasi Santa Claus itu memang ada...bukan buatan…”
“Nah,
berarti dia memang ada kan?” kataku bergairah.
“Ya
ada…nggak maksudnya nggak adanya itu karena…”
“Sudah,
deh ! Kok jadi repot banget jawab pertanyaan seperti itu? Yang aku ingin tahu
apa kamu percaya bahwa Santa Claus ini memang bisa mengabulkan permintaan?”
Serafina
kelihatan bimbang sejenak namun akhirnya dia tersenyum,”Waktu kecil aku
mempercayainya…dia memberikan kado-kado di bawah pohon natal di rumahku saat
malam natal…tapi setelah dewasa…aku belum pernah mengajukan permintaan lagi…”
“Kenapa?
Kamu terlalu sibuk?”
“Nggak,
mungkin karena aku mempercayai yang lain?”
“Mempercayai
yang lain? Maksudnya?”
“Ya,
mempercayai bahwa aku bisa mendapatkan sesuatu bila aku berusaha keras. Tidak
lagi ingin bergantung pada satu sosok yang harus ditunggu kedatangannya setahun
sekali…”
“Tapi
dia tetap datang memberikan kadonya?”
“Sayangnya
tidak. Dia akan hilag begitu kamu tidak lagi percaya padanya.”
“Aku
ingin percaya padanya. Bagaimana caranya melakukan itu?”
“Maksudnya?”
“Supaya
aku mendapat hadiah darinya.”
“Lia,
aku…nggak tahu deh…kupikir Santa Claus itu hanya khayalan di masa kanak-kanak
saja…jadi rasanya nggak mungkin…”
“Soal
mungkin atau nggak mungkin biar aku yang pikirin. Jadi bagaimana supaya dia
bisa mengabulkan permintaanku?”
“Ada
syaratnya…jadi anak baik selama setahun…”
“Setahun?”
aku terbelalak. “Dan harus apa supaya dia berpendapat aku baik?”
“Melakukan
apa yang seharusnya dilakukan orang-orang baik mungkin…” Serafina mengangkat
bahu. “….apapun yang dilakukan Santo Nicholas.”
“Rasanya
setahun tidak cukup untuk melakukan itu semua…” aku bergumam sendiri. “…tapi
itu semua memang yang diajarkan di agamaku…lalu apa bedanya supaya Santa Claus
melihatnya?”
Serafina
tersenyum,”Kaos kaki.”
Aku
mengangkat alis kebingungan,”Kaos kaki?”
“Beli
kaos kaki, gantung di dinding, tuliskan permohonanmu di secarik kertas, dan
masukan ke dalam kaos kaki. Itu yang membedakan…”
“Kalau
aku melakukan itu…apa aku bisa mendapat kado yang bukan materi?” tanyaku terus
mencecar.
“Misalnya?”
“Peristiwa
mungkin? Atau suatu cita-cita?” aku menjawab dengan berandai-andai. “Apa dia
pernah mengabulkan permintaan misalnya mempertemukan kembali dua saudara yang
terpisah sejak kecil atau menyatukan keluarga yang terpecah?”
Serafina
mendesah panjang,”Aku nggak tahu soal itu, Lia. Yang aku tahu Santa Claus lebih
sering memberi kado berupa barang tapi…mungkin saja sih karena dia disebut
pembawa keajaiban natal…jadi kemungkinan itu tetap ada…”
Oke…kalau
memang aku bisa mendapatkannya maka kaos kaki rasanya tidak sulit…
Jadi
aku membeli kaos kaki yang dimaksud dan menggantungnya di dinding dengan segera.
Kupikir aku tidak boleh buang-buang waktu karena permintaanku tergolong berat
dan Serafina mengatakan kalau Santa Claus lebih senang bila semuanya dimulai
sejak awal.
Hampir
genap setahun sudah benda itu menghiasi dindingku namun itu bukan hanya sebagai
penghias. Kaos kaki itu menjadi motivasi dan pengingat supaya aku tetap
berusaha melakukan yang terbaik menjadi ‘anak baik’ seperti yang dikatakan
Serafina.
Tidak
mudah memang di tengah kekacauan hidup, tapi aku berhasil membujuk perusahaan
rekamanku menyumbangkan sebagian pendapatannya dari penjualan albumku untuk
membantu biaya sekolah beberapa anak panti asuhan, mengajak mami berjalan-jalan
ke negara yang selalu menjadi mimpinya untuk didatangi yakni Cina, meluangkan
hampir sebagian besar waktuku buat mendengarkan keluh kesah teman-temanku dan
memberikan ucapan motivasi bahwa apa yang mereka alami mungkin tidak seberat
apa yang sedang kuhadapi, bersyukur senantiasa tiap hari dan belajar tidak
mengeluh saat hal-hal buruk terjadi di tiap menitnya…
Aku
menikmati itu semua…dan ternyata orang-orang di sekitarku juga merasakannya…
mereka bilang aku berubah…tidak ada lagi Lia yang tanpa gairah hidup, tidak ada
lagi Lia yang suka mengomel, tidak ada lagi Lia yang manja dan suka mengasihani
diri sendiri. Setiap hari yang ada di pikiran hanya menambah daftar tentang
apalagi yang bisa kulakukan buat orang lain, supaya aku mempertebal kepastian
jenjang tingkatan sebagai anak baik dalam buku versi Santa Claus.
Dan
kesemuanya kulakukan sampai hari ini…jadi hari inilah penentuannya…hari ini aku
akan melihat apakah legenda tentang Santa Claus itu bisa dipercaya. Aku menjadi
bersemangat sekali karenanya, terlebih saat menatap kaus kaki itu dan itu
membuat mami yang sedang masuk ke kamarku jengkel,
“Masih
juga kamu pandangi kaus kaki buluk itu?”
“Itu
namanya kaus kaki harapan ke Santa Claus, mami.”
“Kalau
mau berharap jangan sama tokoh dari budaya asing.”
“Kalau
itu bisa mendatangkan harapan buat kita memangnya kenapa, mami?”
“Itukah
yang membuatmu bersemangat begitu?”
“Kan
aku juga tidak pindah kepercayaan seperti yang mami tuduhkan.”
“Tapi
tetap saja kamu terobsesi dengan benda jelek itu.”
“Sudahlah,
kan mami sendiri juga bilang aku berubah.”
Tiba-tiba
mata wanita itu melembut,”Mami takut kehilangan kamu.”
“Kenyataannya
seperti itu, mam. Tapi semuanya pasti akan berakhir dengan baik.”
“Itukah
yang kamu tulis di dalam kaos kaki itu?”
“Mami
boleh melihatnya setelah aku mendapat kadoku dari Santa Claus.”
Wanita
tua itu mendengus,”Terserahlah…bersiaplah pergi ke gedung konser. Panitia sudah
menjemput!”
“Aku
sudah siap, mi…” kataku dengan menenteng tas besar berisi biola dan
bersiap-siap keluar dari kamar.
Sebelum
meninggalkan rumah aku sempat mendengar mami berkata, “Setelah tahun baru kaus
kaki buluk itu akan mami buang. Sudah muak melihatnya menggantung selama
setahun di kamarmu itu.”
Aku
hanya diam…
Tetap
diam dan mematung seperti yang kulakukan di dalam gedung konser penuh sesak
malam itu…sekitar 30.000 undangan memenuhi kursi-kursi yang terhampar di depan
serta sisi kiri dan kanan panggung. Aku tak tahu bagaimana nada-nada biola bisa
memabukan orang-orang untuk datang mendengarkanku, bukannya tidak mensyukuri
apa yang kudapat namun dulu rasanya lebih masuk akal bila orang-orang datang
untuk mendengarkan penyanyi bersuara merdu daripada hanya seorang penggesek
biola.
Yah,
jaman mungkin sudah berubah…
Musisi
yang hanya bisa memainkan alat musik tanpa kemampuan bernyanyi seperti Yovie
Widianto atau Santana pun pertunjukannya bisa dibanjiri puluhan penonton dan
disinilah diriku…berdiri dengan gaun sutera biru muda yang memendarkan cahaya
mengilau di tengah panggung dengan biola terpasung diantara bahu dan daguku.
Mau dikata apalagi….inilah konser tunggalku….sebuah ajang besar
sebagai apresiasi tertinggi dari apa yang sudah kulakukan selama ini…
Lagu
kesepuluh usai terlantun dan lagi-lagi tepukan membahana sebagai pertanda
pujian meruah diarahkan padaku. Seperti boneka yang terlatih aku tersenyum kemudian
membungkuk memberi hormat. Orang-orang ini mencintaiku…dengan segala
kekuranganku…dan aku juga mencintai mereka sehingga di lagu terakhir ini aku
ingin memberikan pemuncak yang pantas mereka dapatkan…
The
Neo of Moonlight Sonata…
Aku
menggarap sendiri harmoni klasik karya agung Beethoven ini dengan paduan musik
retro dan gamelan bali…hasilnya album perdanaku Violiane cukup sukses.
Sesuatu yang diluar perkiraan semua pihak, perusahaan rekaman ataupun aku
sendiri, sebab aku membuatnya memang bukan dengan maksud mencari sukses…hanya
menyalurkan apa yang membuatku bahagia…apalagi kalau bukan musik yang
bagus.
Dan
di saat jemariku menari-nari diatas senar menemani harmoni yang mengalun
melenakan telinga sekitar 30.000 penonton di depan panggung itu, pikiranku
terhanyut pada semua masalah yang menjadi latar belakang semua ini…satu nama
itu memenuhi benakku… Koko…
Karena
dialah aku mendapatkan penyakit terkutuk ini…HIV Positif…yang berubah menjadi
AIDS seiring bulan demi bulan di saat menjalani perawatan yang tanpa hasil.
Untungnya sampai kini aku berhasil menutupi segala sesuatu dari mami sehingga
aku tampak selalu sehat meski aku tahu dia sudah mulai curiga dengan hilangnya
berat badanku secara perlahan.
Meski
begitu aku tidak bisa menyalahkan Koko sepenuhnya. Berkat dia aku masih
bernafas sampai saat ini, hanya dia yang berani mengeluarkanku dari dasar
samudera ketika hiu mulai mengelilingiku. Ketololanku, atau mungkin juga
terlalu asyiknya bercanda dengan teman-teman, yang membuatku lengah sampai
ombak menyeretku dan aku nyaris berujung maut.
Saat
itu yang kudengar hanya teriakan teman-temanku…yang paling keras salah satunya
Serafina…tapi tak ada satupun dari mereka berani terjun kesana menyelamatkanku sampai
lelaki itu datang menghampiriku dan berusaha mengusir hiu-hiu itu dengan
caranya yang sembarangan yang membuat dia juga diserang habis-habisan. Aku
kehilangan kesadaranku saat dia berhasil menarikku ke tepian dan hanya ingat
bahwa tubuhnya bersimbah darah.
Melihatku
tidak bergerak membuatnya panik. Dia menguncang tubuhku berkali-kali dan
meneriakan namaku supaya aku bangun, “LIA…SADAR LIA…” tapi aku tidak bergeming.
Di tengah kekalutan itu entah pikiran darimana Koko bisa memberikan nafas
buatan padaku, dan itu membuatku tersentak kembali dalam dunia nyata…antara
tidak terima seorang lelaki berani menciumku di saat aku tidak berdaya atau
nafasnya yang bau…entahlah, tapi di detik itu juga aku memuntahkan air asin
banyak sekali…
Di
saat teman-temanku segera mengerubutiku, sang pahlawan itu justru pergi
diam-diam. Tadinya aku mengira dia malu untuk mengakui di depan umum bahwa dia
menjadi pahlawan buatku…padahal kalau mau jujur aku sama sekali tidak malu buat
mengakuinya bila dia menginginkannya.
Hanya saja kenyataan pahit harus kuterima
belakangan. Kenyataan yang kudapati saat memeriksakan diri ke dokter setelah
merasakan banyak hal aneh terjadi padaku sejak peristiwa itu. Jawaban para ahli
kesehatan itu jelas dan pasti…aku positif AIDS !
Aku
sangsi AIDS ditularkan lewat air liur, namun tubuh Koko memang penuh darah, dan
dari berita yang kudapati setahun lalu Koko memang meninggal gara-gara penyakit
laknat itu. Aku tidak berminat mencari tahu bagaimana Koko bisa sampai
terjangkit penyakit memalukan seperti itu…itu sudah tidak penting lagi…yang
terpenting bagaimana bertahan menghadapi penyakit ini.
Dalam
pertarungan yang seakan tanpa ujung dan kelelahan itu akhirnya aku mendengar
sosoknya…dimana darinya aku berharap bisa mendapatkan akhir yang baik dari
semua yang telah kulalui.
Aku ingin pulih. Aku ingin seperti sedia kala. Aku
ingin normal.
Dan aku ingin lepas dari semua kecemasan yang
membelenggu…kecemasan bahwa sewaktu-waktu aku harus pergi dari dunia
ini….meninggalkan keindahannya yang belum kurasakan untuk sepenuhnya…
Aku
sudah melakukan semua kebaikan yang kamu mau….
Apakah
aku sudah menjadi anak yang baik untukmu?
Tepuk
tangan penonton membahana dan mereka semua berdiri mengelu-elukan. Sekali lagi
aku membungkuk dan memberi hormat sebelum akhirnya pergi menuju ruang ganti.
Ketika melangkah menuju ruang ganti aku tidak merasakan apa-apa sama sekali…
Penyerahan
penghargaan atas kegiatan amal ataupun tepukan pujian atas konser yang berhasil
tidak lagi menggetarkan hatiku seperti kali pertama merasakannya di saat
albumku keluar. Satu-satunya yang membuatku berdebar saat ini mungkin hanya momen
yang sebentar lagi akan datang….momen sehari menjelang natal dimana sosok itu
akan datang memberikan kado dari permintaan yang diberikan kepadanya…
Dan
aku melangkah tanpa rasa ke ruang ganti itu. Duduk termangu selama hampir
setengah jam lamanya tanpa melakukan apapun sampai terdengar ketukan di pintu…
TOK…
TOK… TOK…
“Masuk…”
Aku
duduk menatap kaca, benda itu merefleksikan gambar di belakangku sehingga aku
bisa melihat pria yang masuk ke ruang gantiku. Aku tidak mengenalinya
pertama-tama, namun dari tatapannya yang jenaka aku langsung sadar, “Om Karel?”
“Malam
Lia…”
“Aku
turun dari kursiku dan pergi memeluknya. Dia memang sudah seperti ayah buatku.
Om
Karel, boss perusahaan rekamanku inilah yang akhirnya meluluskan permohonanku
untuk mendermakan sebagian uang penjualan albumku. Sudah lama aku tak
melihatnya, dia memang sibuk bepergian untuk urusan bisnis, maka dari itu aku
tidak langsung mengenalinya sebab perutnya sudah membuncit dan dia membiarkan
janggut tumbuh menghiasi rahang dan dagunya.
“Pertunjukan
yang luar biasa,” kata pria itu seraya menyerahkan karangan bunga mawar yang
dibawanya.
“Cantik
sekali…makasih om Karel.”
“Dan
sekarang apakah kamu siap menerima kado natalmu?”
Aku
mendongak, menatap wajah Om Karel dengan bingung, ”Maksud, om?”
Pria
itu tersenyum dan menjentikkan jari. Jendela ruangan yang berada di lantai dua
itu terbuka dan saat dia melangkah mendekati jendela tersebut aku melihat
sebuah kereta yang ditarik delapan ekor rusa diluar sana.
“Bagaimana…bagaimana
bisa?” aku terkesiap.
“Kamu
yang mengatakan sendiri kalau ini keajaiban natal?”
“Ya…tapi
dari om Karel?”
“Aku
bisa datang dari manapun, Lia ! Memangnya orang seperti apa yang kamu
harapkan?”
Aku
mengangkat bahu,”Entahlah…pria gendut berjenggot perak?”
“Hohohoho…”
om Karel tertawa. “Sepertinya orang yang kukenal. Tapi kamu pasti lebih suka
berada dekat dengan orang yang wajahnya sudah kamu kenal, bukan?”
“Ya…”
“Kalau
begitu ikutlah aku…”
“Kita
kemana?” tanyaku masih ragu.
“Untuk
mengambil kadomu. Supaya kamu bebas dari rasa sakitmu.”
Mendengar
itu aku tersenyum dan menyambut uluran tangannya. Aku mengikuti om Karel naik
ke kereta itu, yang ternyata dalam keadaan melayang diluar jendela lantai dua
tersebut, sempat ketakutan aku bermaksud kembali ke ruangan itu namun di saat
itulah aku melihat sosok seperti diriku…tengah duduk termangu menatap kaca,
namun dengan posisi yang aneh karena sepertinya aku sudah….mati…
“Apa
yang…”
Om
Karel mendesis menyuruhku diam,”Jangan takut. Semuanya akan baik-baik saja.
Kamu akan mendapat kadomu, anak baik.”
Lelaki
itu menggebah tali kekang sehingga kedelapan rusa segera berlari… membuat
kereta terbang ke langit malam yang bertabur bintang sementara lonceng di leher
para rusa itu pun berdencing-dencing seakan menyanyikan suatu pujian yang tak
asing di telingaku.
Diantara dentang harmoni lagu itu aku bisa melihat wajah
mami yang saat itu tengah mengambil surat dari dalam kaos kaki merah di
kamar…aku tersenyum…akhirnya mengerti…dan mami pasti juga akan mengerti setelah
membaca permohonan yang kutulis disana…
Dear
Santa Claus…
Aku
tidak tahu apakah engkau mengabulkan doa dari orang yang agamanya tidak
mengenal engkau seperti aku ini. Tapi dari temanku, aku tahu kalau kamu sama
seperti Budha… mencari kebaikan…dan orang yang mencari kebaikan tentu tidak
akan menolak memberi kebaikan pada orang, bukan?
Dari
kebaikan yang kulakukan aku tahu Budha memberikan kehidupan berikut yang lebih
baik tapi kamu memberikan kado natal darinya. Dan untuk itu boleh aku
memintanya darimu?
Semua
orang yang mengalami penyakit sepertiku pasti minta kesembuhan, dan aku
bukannya tidak meminta mukjizat itu, tapi aku sadar aku mungkin tidak akan
bertahan lama. Karena itu ijinkan aku melakukan kebaikan yang kamu inginka
selama setahun ini, sebagai imbalan kado natal untukku darimu. Aku minta kado
natal berupa kematian darimu.
Mungkin
kamu bertanya-tanya kenapa aku memintanya sementara aku melakukan kebaikan
sebelumnya. Itu tidak lain karena aku berpikir uang yang kumiliki sebaiknya
kuberikan kepada mami daripada digunakan untuk pengobatanku yang sudah pasti
memakan biaya besar.
Aku sudah menyiapkan sejumlah dana untuk
membeli tanah dan membangun rumah mungil supaya mami tidak perlu
mengontrak-ngontrak lagi, dan rasanya hanya itu yang bisa kulakukan untuk
membalas kebaikan wanita yang sudah membesarkanku dengan susah-payah itu.
Dengan
kematian cepat aku juga tidak perlu menghancurkan hatinya dengan berbagai
praduga soal AIDS yang menggerogoti tubuhku ini sebab tidak ada yang patut
dipersalahkan. Koko hanya menolongku dari tenggelam dan kalau hanya seorang
penderita AIDS yang bersedia menolongku dari tenggelam di samudera mungkin itu
memang sudah takdir, dan aku tidak mau Koko dipersalahkan…
Hanya
itu kado yang kuminta untuk natal kali ini…dengan kematian bisa mempercepat langkahku
menuju dunia berikutnya yang telah disiapkan Budha untukku…dan aku percaya
Santa Claus bisa memberikannya padaku sebab engkau itu keajaiban natal…
Salam
manis
Lia
No comments:
Post a Comment