Sebelum memasuki
bagian ini ada baiknya kamu yang belum mengikuti edisi minggu lalu tap in dulu
kesini : LUBANG
JEPANG - 1
Emir dan kedua anak buahnya masuk ke
ruang tahanan, segera meringkus Muklis yang sudah berdarah-darah baik sekujur
tubuh maupun wajahnya…kini aku mengerti darimana dia mendapatkan puluhan bekas
luka di perut, punggung, dan wajahnya. Dengan borgol membelenggu tangan kanan
dan kirinya, Muklis kini berada dalam posisi berdiri terentang dengan punggung
menempel pada jeruji besi.
“Apa yang terjadi?” tanya Emir.
Aku tidak menjawab, hanya menatap
ketakutan pada Muklis yang tidak berhenti tertawa terbahak-bahak, lalu melengos
dan meninggalkan tempat itu. Tak mempedulikan panggilan Emir.
Malamnya Emir masih berusaha
mengorek apa yang terjadi tadi siang dengan mengajakku makan malam di restauran
favorit tapi aku menolak, beralasan bahwa aku tak enak badan. Untungnya dia
tidak memaksa sehingga malam itu aku punya waktu buat berpikir lebih tenang.
Apa
yang diucapkan Muklis di ruang tahanan tadi siang bukan khayalanku. Aku
mendengarnya dengan jelas dan jernih, sejelas suara pena yang terjatuh ketika
aku berada dalam ruang ujian. Dia jelas tahu soal Siti, juga yang lainnya, dan
dimana keberadaan mereka. Pikiranku kembali pada ucapan itu…
“Fandi…lubang
jepang….tolong aku…”
“Bodoh!”
tiba-tiba berganti suara bentakan lelaki dan Muklis celingukan seperti orang
bingung dan ketakutan. “Kamu akan membunuhnya…”
“Jeruji…lubang…jeruji…lubang…jeruji…”
Muklis meracau berulang-ulang
“DIIIIIAAAMMMM
!!!”
Sepertinya Muklis sedang bergelut
melawan sesuatu di dalam dirinya dan apapun itu yang merasuki tubuh Muklis
berusaha membungkam mulutnya agar tidak bercerita soal Siti dan yang lainnya. Menurutku
Muklis bukan pelakunya tapi dia jelas tahu sesuatu…dia berusaha mengutarakan
itu padaku…kalau begitu ada baiknya mendatangi lubang jepang itu untuk
melihat-lihat ada apa disana.
Suhu Bukit Tinggi malam ini mungkin berada
di angka tujuhbelas atau delapan belas celcius pada termometer, tapi aku tidak
mempedulikan itu karena pikiranku dipenuhi dengan berbagai pertanyaan tentang
apa yang mungkin kudapati di dalam gua yang ada di hadapanku itu. Aku
celingukan sekali lagi buat memastikan tidak ada yang melihatku menerobos ke
tempat itu sebelum menyalakan senter.
Tempat ini sudah mengalami beberapa kali perbaikan dan renovasi demi mempertahankan bentuknya sebagai tempat bersejarah sekaligus pariwisata daerah. Saat Jepang membangun tempat ini sebagai liang perlindungan tentunya belum ada tangga berjenjang macam yang sedang kuinjak ini, atau alur besi yang digunakan sebagai penunjang pegangan, apalagi penahan atap yang berupa beton di atas kepalaku…meski penuh sentuhan peradaban macam begini keadaan di dalam sini masih tetap muram parah…
Aku
mengarahkan senterku berkeliling…cahayanya mengenai dinding-dinding kelabu yang
tidak rata dan memantulkan angin dari dataran di sebelah atas…membuatku makin
merapatkan jaket karena suhunya terasa semakin mengilukan tulang.
Sebenarnya aku tidak terlalu
memerlukan senter karena pemda memperlengkapi bagian dalam gua dengan lampu
penunjang yang meskipun bercahaya remang tapi cukup lumayan buat memandu arah,
hanya saja berjaga-jaga rasanya nggak ada salahnya…aneh bukan masuk ke ruangan
bawah tanah tanpa memegang senter?
Untungnya
aku sudah sempat menghafal peta yang ada di papan di dekat mulut gua. Bentuk tempat
ini menyerupai huruf T dengan satu jalan masuk yang menyerupai kepala vacuum
cleaner. Penyimpanan amunisi merupakan ruangan-ruangan yang pertama kali akan kutemui
setelah menuruni jenjang penurunan, setelah itu aku akan mendapati ruang yang
dipakai sebagai kegiatan utama berupa makan, pertemuan dan rapat, juga memasak.
Tempat peristirahatan tentara berupa
barak merupakan ruangan yang paling banyak dibuat pada sisi horizontal landskap
dari lubang perlindungan ini, ada sekitar 8 unit barak, sisanya ruangan untuk
menyimpan barang keperluan diluar aktivitas militer dan penjara. Mereka juga
membangun dua pintu keluar di bagian belakang hingga dapat menyingkir dengan
segera bila musuh mengepung dari sebelah depan.
Kuputuskan
buat menyusuri jalan setapak gua di sebelah kanan dahulu dengan perlahan,
sesekali menyorotkan senter ke sana kemari buat mencari celah yang kemungkinan
menjadi tempat disembunyikan tubuh Siti dan teman-temannya…ya, Tuhan…kenapa aku
berpikiran akan menemukan tubuh mereka? Bukankah itu sama artinya aku mendoakan
mereka sudah tewas? Ucapan kan sama artinya dengan doa…
Jalanan
di tempat ini berhubungan satu sama lain, tidak terputus, meskipun fisiknya
berbentuk T sebenarnya jalan setapak ini mengambil falsafah lingkaran…tanpa
ujung dan tanpa pangkal…sehingga tidak ada sudut mati yang membuat para tentara
bisa tersudut bila sedang dikejar musuh, lucunya aku baru menyadari hal ini
sekarang…
Aku memperhatikan jeruji yang
menutupi beberapa ruangan seperti ruang amunisi. Muklis mengatakan soal
jeruji-jeruji…apakah yang dia maksud dengan jeruji? Jeruji jelas menunjukkan
sesuatu yang berhubungan dengan ruangan tapi ruangan apa? Jeruji yang
mana? Begitu banyak jeruji terpasang di
tempat ini, di ruang amunisi seperti yang ada di hadapanku ini, atau di ruang
siding, atau yang ada di salah satu barak berukuran kecil.
Dari delapan barak, ada tiga barak
besar dan lima barak kecil. Barak besar ini pasti ruang untuk para tentara
tingkat rendahan yang bisa dikumpulkan secara massal. Sementara barak yang berukuran
kecil, sebagian digunakan menampung sisa para tentara tingkat rendah yang tidak
muat di barak besar dan sebagian lainnya untuk mereka yang berada di tingkat
menengah dan perwira.
Setelah ruang barak besar ini aku
akan sampai di dapur, di tempat itulah aku menyatakan perasaanku pada Siti
beberapa tahun silam. Kenapa harus di tempat itu? Mungkin memang itu terjadi
begitu saja setelah kami berpegangan tangan sedemikian lama sewaktu menyusuri
lubang ini, tempat demi tempat, dan di tempat itulah akhirnya debaran dadaku
makin tak karuan untuk menumpahkannya. Namun bisa jadi karena tempatnya yang
terpencil menghindarkanku dari rasa malu bila sampai ketahuan pengunjung lain.
Saat itu aku merasakan sesuatu
melintas di belakangku…tepat di depan mulut ruang barak besar dimana aku sedang
berada…aku menoleh dan sosok itu berlalu begitu cepat, meninggalkan langkah
berlari yang terburu-buru. Aku menyapa, “Siapa itu?”
Karena tak ada jawaban aku keluar
dari ruangan barak besar dan celingukan ke kanan-kiri tanpa mendapati siapapun.
Langkah berlari tadi menyisakan penasaran saat pendengaranku menangkapnya
mengarah ke ruang makan yang tak jauh dari situ.
Aku berjalan cepat ke ruang makan
dan tempat itu juga kosong. Hanya ada meja kayu berdebu dan penuh sarang
laba-laba ada di tengah-tengahnya, benda yang sangat tidak proporsional dan
sepertinya bukan menjadi bagian dari masa lalu, meja bekas itu sepertinya
ditempatkan disitu sebagai replika buat menunjukkan identitas ruangan yang
akhirnya terbengkalai seiring waktu.
“Halo ?”
Terdengar bunyi batuk samar…
“Kamu ada disini?”
Aku tersenyum kecut mendengar batuk
samar sekali lagi dari bawah meja yang sepertinya menjawab pertanyaanku secara
tidak langsung.Sedikit jengkel karena dipermainkan macam itu aku tetap
berjongkok menyibakkan sarang laba-laba itu untuk melihat kemungkinan siapapun
yang bersembunyi disana dan bermain-main denganku layaknya anak kecil main
petak umpet.
Saat sarang laba-laba itu terkuak,
lapisan debu pun berhamburan keluar dan menyembur ke wajah hingga membuatku
bersin-bersin sedikit. AKu mengarahkan senterku ke bawah meja tapi tidak
mendapati siapapun disana. Dan saat itu aku mendengar kembali langkah berlari
di belakangku, kali ini disertai suara tertawa puas seakan dia berhasil
memainkanku…tawa laki-laki…
“Muklis?” kali ini aku bertanya
dengan lebih keras, nama itu kusebut karena aku mengenali suara tawanya, tawa
yang mengiang-ngiang meninggalkan bekas tak terlupakan di kepalaku saat berada
di ruang tahanan.
Aku bergegas mengikuti langkah
berlari itu…mengejarnya…cahaya senterku sempat menangkap sekilas bayangan sosok
itu saat dia berbelok menuju ke lorong yang terhubung ke ruang amunisi. Aku
berdiri di ujung lorong yang temaram itu, meluruskan lengan yang memegang
senter agar lebih banyak cahaya merembes masuk membantu penerangan di langit-langit
yang kekuatannya hanya lima watt.
Langkah berlari itu menghilang, jadi
kuputuskan mencari ke dalam sana diantara deretan ruang amunisi, orang iseng
itu pasti ada di salah satu ruangan itu. Sambil menahan laju senter dengan
sebelah telapak tangan aku berjalan maju. Telinga dipertajam dan mata terus
mengawasi sekitar.
Ruang amunisi itu hanya ruangan
kosong, mungkin dulu penuh dengan berpuluh-puluh peti berisi granat, bahan
peledak, peluru, atau pun senjata, tapi sekarang tempat itu hanyalah ruangan
berukuran tiga kali enam meter yang berbau apek dan dipenuhi sarang laba-laba
yang tidak terlalu tebal sehingga senterku dapat menembus ke sisi sebelah dalam,
mendapati jeruji di pintu seberang.
Jeruji…
Mendadak hatiku berdebar mengingat
soal jeruji. Apa mungkin jeruji ini yang dimaksud Muklis?
Yang jelas bukan jeruji ruang
tahanan dimana dia sekarang berada. Orang brengsek itu akan menyesali
perbuatannya atas apa yang dia lakukan pada Siti kalau aku bisa membuktikan dia
bersalah…
Dia tidak ada di empat ruangan
pertama…baru di ruangan kelima aku melihat sosok itu…lelaki itu duduk bersimbuh
di lantai memunggungiku…tak memakai apapun di bagian sebelah atas tubuhnya… aku
tidak mengerti bagaimana dia bisa tidak mempedulikan udara sedingin ini karena
dengan jaket tebal yang kukenakan di tubuh ini saja masih begitu menyengat…dia bernafas
dengan begitu tenangnya tanpa peduli kehadiran diriku di belakangnya…
“Muklis? Bagaimana kamu ada disini?”
aku menegur.
Lelaki itu menegakkan tubuh dan
memutar kepalanya perlahan. Aku terbelalak ngeri saat kepala itu memutar aneh,
semakin lama semakin melebar ke belakang, dan tanpa bisa kujelaskan bagaimana
bisa terjadi terputar seratus delapan puluh derajad hingga pandangan kami
saling bertemu…ini gila… manusia normal mana mungkin melakukan yang seperti
itu…
Muklis menyeringai ganjil saat
sepasang lengan dan kakinya mengangkat tubuhnya dan bergerak ke arahku dengan
posisi yang tidak akan dilakukan makluk normal manapun di muka bumi. Aku tidak
bisa menggerakan tubuhku karena ketakutan. Berteriak ngeri begitu kerasnya
ketika makluk aneh itu menerjang ke arahku…senterku terjatuh saat aku
mengangkat tangan untuk melindungi diri…namun beberapa meter sebelum makluk itu
menyentuhku lampu di seluruh ruangan padam.
Kudongakkan kepala buat memastikan
lampu yang mati ini sesuatu yang nyata, tidak mengira akan selamat dari
serangan itu, perlu waktu beberapa menit buat meredakan tubuh yang gemetaran
sebelum aku mampu mengambil senter yang tergeletak di lantai. Kusorotkan cahaya
senter ke sekeliling tapi makluk yang kusangka Muklis tadi sudah hilang.
“Sial…apa itu tadi sungguhan?” aku
membatin.
Aku menjerit ketika merasakan
sesuatu mencengkeram bahuku dari belakang. Sontak memberontak untuk membebaskan
tubuhku agar menjauh sebelum terdengar suara menegur, “Fandi? Ini aku!”
Kusorotkan senter ke samping dan
melihat wajah Emir. Temanku itu menutup matanya karena kesilauan. Dia mengerang
kesal, “Turunkan itu, bodoh!”
“Emir? Apa yang kamu lakukan
disini?”
“Muklis gila itu melarikan diri dari sel tahanan.
Aku dan dua anak buahku mengejar dia kemari,” jawab Emir.
“Melarikan diri?” aku bertanya tanpa
merasa heran, berarti memang Muklis yang tadi kulihat. “Bagaimana bisa?”
“Aku juga tidak tahu bagaimana bisa,
tapi kami memergoki ruangan sel kosong. Borgol yang membelenggu lengannya
tergantung di jeruji.”
“Aku melihatnya baru saja,”
komentarku.
“Kelihatannya begitu…” Emir
menatapku dengan pandangan menyelidik. “…masalahnya apa yang kamu lakukan di
tengah malam buat sendirian disini? Bagaimana kamu bisa masuk?”
Belum sempat menjawab terdengar
seruan keras dari belakang Emir. Wajah temanku itu jadi lebih gusar dari
sebelumnya, aku merasakan di sekitar sini ada kejadian yang tak kuketahui
sebelumnya dan itu diluar kekuasaan Emir, mungkin itu sebabnya dia mengambil
pistol dari sarung di pinggang sebelum pergi ke arah suara, “Brengsek! Dia juga
menyerang Hilman…”
Aku hendak bertanya namun sang
petugas aparat keburu berbalik lalu berlari mengejar ke arah suara sambil berseru-seru
memanggil, “BERTAHANLAH…HILMAN…” sementara jeritan anak buahnya perlahan
melenyap.
Tak ingin sendirian berada di tempat
mengerikan ini, sekaligus ngeri kalau-kalau monster aneh tadi masih berada di
sekitar tempat itu, aku pun berlari mengikuti Emir. Sayangnya dia berlari
terlalu cepat, kegelapan ruangan juga menghambatku, beberapa kali aku terantuk
alas lantai yang tidak rata, perhatian yang terpecah membuat cahaya dari senter
Emir yang berada enam meter di depanku bergerak semakin
mengecil…mengecil…sampai akhirnya aku kehilangan temanku itu di lorong menuju
sisi timur dimana penjara berada.
“Emir?” aku memanggil.
Begitu sampai di titik terakhir
dimana kulihat cahaya senter Emir sirna aku menyadari bahwa aku berada di depan
mulut penjara. Bulu kudukku meremang melihat pintu penjara terbuka. Pintu itu
seharusnya dalam keadaan tertutup…aku juga ingat ada gembok terpasang di
selotnya untuk mencegah pengunjung membukanya dan masuk…
Tapi kini pintu itu membuka dalam
posisi terpentang lebar keluar sementara gembok yang seharusnya menggantung di
selot tergeletak di lantai…aku menahan nafas, pintu penjara ini terdiri dari
jeruji…apakah mungkin jeruji ini yang dimaksud Muklis….jeruji di Lubang
Jepang….
“Emir?” aku menyorotkan senter ke
depan tapi cahayanya hanya mampu menyorot sejauh tiga meter saja ke dalam,
selebihnya gelap, aku tidak bisa melihat lebih jauh ke ujung penjara ini
padahal dari papan peta diluar penjara ini sebenarnya hanya ruangan sedalam
tiga meter lebih…
Karena itu aku terkejut bukan main
ketika pria itu muncul dari sisi sebelah kiri mulut penjara, tampang dan
tubuhnya yang lusuh sama seperti yang kulihat beberapa jam sebelumnya di sel
tahanan Mapolres, bedanya dia terlihat lebih waras. Matanya tidak lagi
menerawang kosong, yang ada disana adalah sejumlah kewaspadaan, kekuatiran, dan
juga kebingungan yang tidak dibuat-buat.
Dia mengenaliku, matanya
terkejap-kejap seraya mengangkat tangan untuk mengurangi kuatnya cahaya
senterku yang menyorot kepadanya, “Fandi?”
Aku diam…tak langsung menjawab…wajah
membeku disertai rahang yang mengeras…menahan trauma karena tidak ingin apa
yang terjadi padaku di ruang amunisi beberapa menit sebelumnya terulang
kembali…sebab kali ini tidak akan ada lagi yang melindungiku bila dia
menyerangku begitu rupa…
“Fandi…ini aku…Muklis…”
“Apa yang kamu lakukan disini?” aku
bertanya dingin.
“Kamu harus menyelamatkan
mereka…mereka ada disana…” dia menunjuk ke belakang mulut ruang penjara.
“Maksudmu mereka ada disana?” aku
bertanya, masih dengan sikap defensif.
“Siti dan yang lainnya…”
Instingku semakin awas, tidak dapat
mempercayainya begitu saja, “Kamu membunuh Siti?”
Muklis menampakkan wajah kaget,
“Siapa yang mati? Tidak! Dia tidak mati…dia masih hidup di dalam sana…”
“Lalu dimana Emir?”
“Siapa Emir?” Muklis bertanya.
“Emir dan anak buahnya…mereka baru
masuk kemari beberapa menit lalu…”
“Aku tidak tahu siapa Emir, tapi
kamu harus ikut aku buat menyelamatkan Siti…”
“Katakan dulu dimana Emir,” aku
menggeleng. “…kalau tidak aku tidak akan ikut denganmu.”
“Sudah kubilang aku tidak tahu siapa
Emir. Ayo, cepat…jangan buang waktu atau mereka akan membunuh Siti,” Emir
berkata gelisah, pandangannya kembali liar secara perlahan, menengok
kesana-kemari seolah takut ada yang menguping pembicaraan kami.
“Bagaimana kamu bisa kabur dari
ruang tahanan? Kamu apakan Emir dan anak buahnya?”
“Ayo, kamu harus ikut aku..bantu aku
menyelamatkan SIti…”
Aku menggeleng, “Tidak! Kamu
membunuh Siti dan yang lain…kamu juga membunuh Emir dan polisi-polisi itu…aku
tidak sebodoh itu, Muklis…” aku menggeleng lagi dan perlahan-lahan mundur.
Melihat ini Muklis jadi histeris,
“Jangan kesana, Fandi…”
Aku tidak peduli, berjalan mundur
lebih cepat buat menjauhi pintu penjara dan Muklis yang kelihatannya sudah
bersiap-siap mengejar dan menerjangku kalau aku tidak kembali kesana. Baru saja
berbalik aku merasakan benda keras menghajar rahangku…dunia serasa meledak di
kepalaku…gelap yang menyelimuti penglihatanku rasanya juga lebih pekat dari
kegelapan yang meliputi ruangan…dan aku tak sadarkan diri…
Aku terbangun saat merasakan ada
telapak tangan memukul-mukul pipiku beberapa kali, bukan jenis pukulan lembut
seperti yang dilakukan seorang ibu untuk membangunkan bayinya agar makan, ini
lebih mirip tamparan yang kau beri kepada pemabuk yang muntah di mobilmu…aku
pernah melakukan itu pada bossku saat dia pulang dengan mabuk dari sebuah pesta
tahun baru yang diadakan perusahaan, dia muntah di mobil perusahaan dan
membuatku kesal karena harus memondongnya naik ke ranjang di rumahnya.
Mataku membuka namun masih belum
dapat melihat dengan awas sepenuhnya, aku bangun dengan terpaksa ketika
seseorang menarikku. Masih kebingungan atas apa yang terjadi orang yang
menarikku barusan menendang bagian belakang lututku untuk membuatku
berlutut….tahu-tahu dua buah tangan menyeruak masuk ke mulutku dan membukanya
dengan paksa…memegang dan menekan gigiku dengan cara tidak nyaman…membuka kedua
mataku, satu demi satu, lebar-lebar lalu menyoroti dengan lilin seakan sedang
melakukan pemeriksaan.
Orang yang berdiri di hadapanku berkomentar
dalam bahasa asing setelah selesai ‘memeriksa’ ku, sesuatu yang bernada puas, lalu
orang yang berada di belakang membuatku berdiri dan aku dikembalikan ke
barisan.
Baru pada saat itulah aku menyadari sepenuhnya dimana
aku berada, terjepit di antara Emir dan pria-pria lain yang tak kukenal. Mereka
semua berlutut dengan kepala tertunduk, semuanya seperti ketakutan akan
sesuatu, begitu pula Emir yang terlihat tersiksa karena ingin mengatakan
sesuatu padaku. Keganjilan lainnya mereka semua, termasuk aku, tak memakai apa
pun kecuali cawat yang membungkus aurat kami.
Aku mendengar suara-suara dalam
bahasa asing itu lagi dan mengenali suara orang yang tadi memeriksaku, berselang
beberapa detik kemudian serombongan pria berpakaian militer berwarna coklat tua
memondong usungan yang berisi mayat-mayat. Mereka mengobrol singkat, salah
satunya melirik kami dengan senyum tipis, lalu yang memondong usungan pergi meninggalkan
tempat itu.
Aku kaget mengenali salah satu dari
mayat yang ada dalam usungan. Siti ada disitu. Gadis pujaanku itu teronggok
seperti daging tak berharga dengan tubuh hanya dibalut cawat dan penutup dada
seadanya. Aku terpekik kecil secara tak sengaja dan orang berpakaian militer
yang berdiri di dekatku menoleh. Pandangannya begitu buas saat memakiku dalam
bahasa yang tak kumengerti… sepertinya itu bahasa Jepang bila melihat perawakan
mereka…
“BAKAYAROOO….”
Umpatan itu diikuti lecutan yang
bunyinya meledak saat membelah udara. Aku merasakan perih yang amat sangat di
bahu kiriku dan tahu-tahu merasakan hangatnya darah yang turun ke dadaku. Aku
mengernyit karena kulit di bahu kiriku koyak.
Dua orang prajurit tiba-tiba maju
dan melemparkan sejumlah perkakas…ada linggis, pacul, cangkul, palu, dan
godam…pecut itu kembali menghantam udara dan aku mengikuti yang lain dengan
patuh mengambil salah satu dari peralatan itu.
Semua seperti kerbau dicucuk hidungnya, entah karena ketakutan pada pecut yang menghajar bahuku hingga berdarah atau pada perintah prajurit yang memeriksaku, pada saat bersamaan bicara dengan bahasa Indonesia yang terpatah-patah,
Semua seperti kerbau dicucuk hidungnya, entah karena ketakutan pada pecut yang menghajar bahuku hingga berdarah atau pada perintah prajurit yang memeriksaku, pada saat bersamaan bicara dengan bahasa Indonesia yang terpatah-patah,
“Waktu bekerja! Gali lubang...sebelum para gerilya tolol itu serang kami…”
"Sudah gue ceritakan kisah elu...tenanglah disana..."
END
Lagi seru- serunya baca...lho kok tamat....argh.....perlu di sambung..please.
ReplyDelete