Jantungku
berdegup kencang…nafasku memburu…dadaku turun-naik dengan berat, seperti ada
sesuatu menekan dari dalam dan hendak melompat keluar ketika aku berdiri di
depan lobang itu.
Lubang yang menganga bagaikan mulut seekor naga besar yang
tengah tertidur dan siap mengatup dan menelanku ketika dia terjaga, hanya
kegelapan yang ada di balik sana, sementara kesiut angin yang menari-nari makin
membuat tulangku terasa ngilu.
Mendadak
aku ingat akan mimpiku…tentang bagaimana si tokoh berdiri di muka gue ini, sama
seperti yang sedang kulakukan sekarang, merasakan suhu yang dingin dan
menahannya sekuat tenaga dan bagaimana aku juga makin merapatkan jaket ke tubuh
sembari menyisirkan senter berkeliling dan berharap tidak ada yang melihat kami
menerobos masuk Taman Wisata…
Nando
berdiri disampingku, terpaku, dengan senter mengarah ke mulut gua, “Waktu kecil
gue pikir gua ini sebuah gua raksasa. Lucu, seiring waktu gua ini tak lagi
sebesar yang gue pikirkan sewaktu anak-anak, meski begitu ada satu pemikiran
yang tetap tentang gua ini.”
“Apa
itu?”
“Ada labirin di dalam sana. Kita bisa tersesat bila tidak mengingat jalan.”
“Bukannya
memang itu maksudnya? Supaya musuh yang masuk tidak mudah menemukan mereka yang
bersembunyi di dalam, apalagi jaman dulu pasti belum ada papan denah.”
“Dan
setelah tersesat kita akan bertemu makluk mengerikan…monster berkepala banteng
yang akan memakanmu…”
“Centaurus
dalam labirin Daedalus?” aku berkomentar. “Apakah itu tidak berlebihan?”
“Nggak,
buat anak kecil,” Nando menyahut. “Tapi bila kita bisa lolos dari makluk itu
dan keluar dari gua hidup-hidup, itu berarti kita berhasil mengalahkan maut.”
Aku
cuma mengangguk-angguk, “Mudah-mudahan kita tidak ketemu Centaurus di dalam
sana.”
“Nggak
mungkinlah,” Nando tersenyum. “Yang gue ngeri malah ketemu sama hantu-hantu di
tulisan elu.”
Mengingat
mimpi buruk itu bulu kudukku berdiri, “Nggak lucu, ah!”
“Katanya
elu penulis horor, kenapa malah elu yang ngeri?”
“Gue
nggak nyangka aja ternyata orang yang nggak demen baca horor malah kepingin
masuk ke tempat beginian…malam-malam begini lagi…”
Kami
menapaki tangga lubang yang mengantar kami jauh ke bawah, dingin yang ada di
sekeliling jauh lebih lembab dari yang terasa dari udara luar.
Bayangan akan lelaki
yang menegakkan tubuh dan memutar kepalanya seratus delapan puluh derajad, kemudian
berjalan dengan posisi melengkung yang ganjil bersliweran di benak…dan aku
memaki-maki dalam hati pada Nando yang mengingatkanku pada makluk itu.
Ruang-ruang berjeruji merupakan
pemandangan yang menanti begitu kami berada di bagian berikut. Aku tidak ingin
berusaha mendengarkan apapun selain langkah kaki sepatu kami yang mengetuk di
lantai batu.
Nando sama tegangnya denganku, terlihat mulutnya berkomat-kamit,
tapi dia tidak mengucapkan sepatah katapun karena bagaimana pun dia yang
mengajakku ke tempat ini. Tidak lucu rasanya kalau dia terlihat takut di
depanku, mungkin aku akan lari meninggalkannya seketika itu juga.
Aku tahu kemana langkah kami
menuju…Nando membawaku ke ruangan yang berada paling dalam dari tempat
ini…ruang penjara…aku tidak merasakan ini sewaktu pertama kali mengunjungi
tempat ini…waktu itu siang hari dan hanya ada kemuraman saja…kini terasa ada
suatu kabut kasat mata yang menghimpit di sekeliling…rasanya seperti aku sedang
masuk ke dalam kolam air tak terlihat dan membuatku nyaris kehilangan nafas…
Terima kasih Tuhan karena kami tidak
bertemu Centaurus atau pun hal-hal aneh yang ada dalam mimpi atau tulisanku,
sementara kami terus berjalan hingga tiba ke tempat yang kami tuju. Di depan
sana jeruji penjara berdiri kukuh seakan menantang kami untuk masuk.
Namun yang
menghalangi kami adalah sebuah gembok yang terpasang pada selot. Gembok yang
aku ingat persis terpasang disana ketika aku berkunjung, pun yang nampak pada
mimpiku, gembok berkarat yang tidak memungkinkan Nano untuk masuk melaksanakan
rencananya…
“Lihat kan? Kita nggak mungkin
masuk,” kataku memandang senang pada Nando.
Tapi aku salah perhitungan karena Nando mengeluarkan sesuatu dari kotak yang sepanjang perjalanan
tersimpan di kantung celananya...benda itu ternyata sebuah kunci…dan aku
memandangi dengan tak percaya, “Jangan bilang kalau itu kuncinya…”
“Kita coba saja,” ujar Nando.
Dan sialnya, kunci itu masuk dengan
presisi yang tak terbantahkan. Aku menghela nafas ketika gembok berkarat itu
membuka dengan mudah begitu Nando memutar anak kunci. Karat yang menipu, buat
apa juga dia ada disana kalau tidak bisa menghalangi kunci Nando untuk membuka
gemboknya.
Temanku bergumam senang ketika membuka pintu penjara yang berderit
kencang karena kurang minyak, “Ternyata memang benar.”
“Darimana elu dapet kunci itu, da?”
“Inyiak…”
Aku semakin memahami apa yang terjadi sementara
pada saat bersamaan berusaha membantah kenyataan, “Bagaimana kalau teorimu
nggak benar?”
“Berarti
kita langsung pulang.”
Diam-diam
aku bernafas lega karena dia masih berpikiran waras, “Benar ya…langsung
pulang.”
“Iya…”
Kami
melewati jeruji besi dan masuk ke ruang penjara. Ruangan itu berukuran tiga
kali empat meter, dikelilingi konstruksi perulangan berupa beton serta
bebatuan, senter kami terpantul pada dinding solid yang membentang sepanjang
bagian akhir dari ruangan tersebut. Nando nampak kecewa, dia mendekati dinding
itu dan meraba-raba, aku berdiri dengan menyorotkan senterku kepadanya.
“Apa
sih yang elu cari?”
“Di
tulisan elu kan bilang si Fandi menyorotkan senternya jauh ke dalam penjara ini karena dia tidak menemukan ujungnya, kan?”
“Apa
elu pikir ada semacam jalan rahasia?”
“Siapa
tahu,” jawab Nando. Setelah mencari beberapa waktu akhirnya dia menyerah lalu
menoleh padaku. “Masa cuma dinding yang kita temui?”
“Memangnya
apa yang elu harapkan dari sebuah penjara?” aku bertanya balik. "Sudah seharusnya tempat ini dikelilingi dinding."
“Apa
nggak ada semacam tombol rahasia atau kata-kata yang harus diucapkan supaya
dindingnya bisa terbuka?”
Aku
mengangkat alis keheranan, “Memangnya ini gua Aladin?”
“Ayolah,
mas! Apa nggak ada sesuatu yang elu ingat dari mimpi elu yang bisa
menghubungkan kita ke masa orang-orang Jepang itu membawa Fandi?”
Aku
menggeleng, “Sorry…”
Nando
menghela nafas, ekspresinya makin kecewa, “Sepertinya ini memang jalan buntu…”
dia menatap sekali lagi pada dinding penjara. “…kalau begitu kita pulang
sekarang.”
Aku
melewati jeruji penjara dan Nando sedang berusaha mengembalikan gemboknya
ketika aku menyadari sosok itu dalam kegelapan. Sosok itu berdiri mematung…di
tengah-tengah lorong yang menghubungkan bagian ini ke ruang utama dimana
terdapat barak-barak…tanganku gemetaran ketika menggambit bahu Nando, “Men, ada
orang di lorong itu…”
“Orang?”
Nando ikutan menoleh, sama sepertiku dia terkejut bukan kepalang. “Darimana dia
datang?”
Sosok
itu berdiri mematung dengan tubuh tegap, tingginya tidak lebih tinggi dariku,
kepala menunduk menadang tanah, dan di balik temaramnya cahaya di lorong itu
aku melihat pria itu memakai seragam tentara Jepang abad dua puluh yang
berwarna kecoklatan, lengkap dengan topi yang memiliki terusan penutup di
bagian belakang kepala.
Kedua tangannya menelungkup pinggang sebelah kanan. Dengan gerakan perlahan sosok itu menarik sesuatu dari pinggangnya…sesuatu yang
terdengar seperti logam dari desingannya saat bergeser keluar…benda itu
diangkatnya ke udara, panjang dan melengkung…sebilah samurai…
“Makluk
ini nggak ada di mimpi elu, mas?” Nando berbisik padaku.
“Nggak
ada!”
“Apa
yang harus kita lakukan?”
Aku
tidak tahu…benar-benar tidak tahu…bagaimana kalau khayalan masa kecil Nando
ternyata benar? Bahwa di dalam lorong itu merupakan labirin dan kami baru saja
bertemu monster ‘Centaurus’ yang ditakutinya?
Sosok
itu mendekati kami dengan perlahan, dia sengaja menggesekkan samurainya ke
dinding batu sehingga menimbulkan decit memekakan telinga untuk meneror kami
berdua, sesekali terihat percikan api dari gesekan senjatanya sementara dia
melangkah dengan kepala tertunduk. Dengan kenekadan yang entah kudapat darimana
aku menyorotkan senter ke arah sosok itu dan aku memekik mendapati tengkorak
tanpa wajah di bawah topinya.
Sosok
itu kaget gara-gara sinar menyilaukan yang keluar dari senterku, spontan dia
mengangkat tangannya untuk menutupi wajah, kibasan tangannya tanpa sengaja
membuat topinya terjatuh hingga menampakkan bagian atas tengkoraknya yang
terbelah dan hanya berupa gumpalan daging penuh kerut berkedut-kedut.
Makluk
aneh itu meneriakkan umpatan dalam bahasa yang tak kumengerti. Dengan tetap
melintangkan tangan di depan wajah dia berlari sementara samurainya
terayun-ayun menggila.
“Dia
hendak membunuh kita,” kata Nando dengan suara tercekat.
“Kita
harus lari…”
“Kemana?
Dia menghalangi jalan kita…”
Tanpa
pikir panjang aku membuka jeruji penjara yang baru saja hendak ditutup Nando.
Untung saja dia belum sempat mengunci gemboknya sehingga pintu itu terbuka
dengan cepat. Aku menarik bahu Nando untuk mengikutiku, “Cepat masuk…”
Kami
menghindar tepat pada waktunya, samurai si tentara Jepang melayang dan
menghantam pagar penjara beberapa detik setelah kami menutupnya. Jeruji itu bergetar
hebat disertai denging yang nyaris menulikan gendang telinga.
Kami berusaha mencegah
makluk itu mendekat dengan menyorotkan senter kami tapi amukan yang lebih hebat
membuat makluk itu tidak mempedulikan halangan tersebut. Dia mengguncangkan
jeruji pagar hingga membuka lalu ikut masuk ke dalam.
Keanehan
pun terjadi ketika dirinya berada dalam penjara…
Tengkorak
yang ada di wajahnya berubah menjadi penuh…terisi potongan daging kemerahan,
lalu serat-serat otot, diikuti kulit yang menyatu dengan cepat…batok kepala
yang terputus di bagian atas kepalanya pun menyambung dan menumbuhkan
helai-helai rambut yang makin memanjang. Begitu pula halnya yang terjadi dengan
tulang jemari tangannya yang menggenggam samurai.
Di saat perubahan yang sedang
terjadi pintu penjara menutup dengan hempasan keras, kami terjebak di dalam
situ, aku mundur perlahan sembari menyapukan pandangan berkeliling untuk
mencari sesuatu yang bisa digunakan sebagai senjata.
Saat itu dinding yang
seharusnya berada di belakang punggungku tak lagi terasa…aku melangkah lebih
jauh dari jarak tiga meter yang seharusnya…ketika menengok ke belakang aku
terpana karena yang ada disana adalah terowongan luas…sebuah ruangan terusan
yang tidak ada sebelumnya…
“Uda…” aku berseru pada Nando.
Nando melihat terowongan itu dan
ikut takjub, “Apa gue bilang? Sudah gue duga…”
Aku tidak punya waktu mengiyakan
kegirangannya karena saat itu ada hal yang lebih genting, mempertahankan nyawa
kami, “Lari! Dia mau bunuh kita…”
Kami lari terbirit-birit,
memanfaatkan waktu dimana makluk itu tengah membeku dalam ‘pemulihan’nya,
rupanya kehadiran kami menarik perhatian puluhan pria bercawat yang tengah
menggali terowongan…puluhan mata berhenti dari pekerjaannya dan memandang kami
berdua…di belakang terdengar ketukan langkah berlari mengejar kami.
Aku berpaling sejenak, ternyata sosok tentara jepang bersamurai itu memang tengah memburu
kami…berteriak-teriak dalam bahasa asing…tetapi apa yang diperintahkannya tak
membuat orang-orang disitu melakukan apapun kepada kami sehingga dia makin
marah.
“Terus, mas…” seru Nando.
“Kemana?” aku balik berteriak.
“Kanan…” dia menjawab sehingga aku
mengikutinya.
Langkah kami terhenti karena ruangan
yang kami masuki ternyata ruang makan, dan pada saat itu sepuluh tentara Jepang
sedang makan-makan sembari menenggak sake. Menyadari kedatangan kami mereka
semua berdiri dengan samurai terhunus, semakin waspada begitu tentara yang
mengejar tiba di ruangan.
“Sial!” maki Nando.
“Ada ide lain?” aku bertanya.
“Menyerah dan angkat tangan?” Nando berbisik
balik.
Seorang pria yang nampaknya
berpangkat lebih tinggi dari yang lain mendengarkan ucapan tentara yang mengejar
kami dari lorong, dia lalu memerintahkan orang itu diam kemudian mendekati
kami, “Bagaimana kalian bisa masuk kemari?”
Ajaib, ternyata dia bisa berbahasa
Indonesia, aku menjawab, “Lewat penjara itu tentunya…”
Pria itu memandangi kami tajam dari
atas ke bawah. Tiba-tiba dia menampar pipiku sehingga aku ternganga kesakitan
dan bersamaan dengan itu tangannya dengan cepat masuk ke dalam mulutku lalu
memeriksa bagian dalamnya laksana seorang dokter hewan sedang memeriksa mulut
kuda nil.
Dia lalu melakukan hal serupa pada Nando, tapi tanpa mendapat tamparan
tentunya karena temanku itu dengan rela hati membuka mulutnya sendiri begitu
melihat apa yang terjadi padaku.
Para tentara Jepang melucuti pakaian kami, meninggalkan hanya cawat pada tubuh kami dan menarik
kami untuk bergabung dalam kumpulan pekerja yang sibuk menggali terowongan.
Pacul di tangan, di saat bersamaan di dekat kami ada seorang pria bertampang
gahar dengan pecut yang siap dilayangkan, mau tidak mau aku dan Nando ikut menggali…sesuatu
yang tak pernah terbayangkan olehku…
“Apa ini sesuai rencana elu?” aku
berkata seraya menggali.
“Nggak sama sekali.”
“Jadi apa yang harus kita lakukan?
Kita sepertinya terjebak disini…”
“Sepertinya begitu…”
“Hey,” aku mencengkeram lengan Nando
dengan kesal. “Disini mimpi gue berakhir. Seharusnya ini bukan berakhir seperti
ini. Apa elu tidak punya rencana dari yang diceritakan nenek elu?”
“Kita harus mencari gadis itu
dan setelah itu melarikan diri…”
“Gadis mana? Melarikan diri
bagaimana?” aku makin memburunya dengan pertanyaan karena sama sekali tak
memahami ucapannya, sayangnya tentara yang mengawasi budak melihatku mengobrol
dan tidak tanggung-tanggung detik berikutnya cambuknya menghantam punggungku
yang telanjang.
“Bakayaro!” dia memaki. “Diam!
Kerja!”
Baru saat itu aku merasakan sakitnya
dihantam cambuk macam itu, setelah berdiri dengan terhuyung-huyung aku melanjutkan pekerjaan menggali dalam diam….menahan kebingungan yang menuntut
jawaban serta rasa nyeri yang membakar punggung dengan hebatnya…
Menggali itu pekerjaan sederhana.
Tidak butuh pemikiran yang sulit saat melakukannya, cukup tancapkan mata
cangkul ke tanah lalu singkirkan tanah ke samping, di saat bersamaan orang yang
di belakangku menyingkirkan tanahnya ke gerobak yang sudah menanti.
Intensitas
dan kontinuitasnya yang bikin kekuatan fisik perlahan menurun, dan rasanya
sudah ribuan kali hantaman baru si ‘mandor’ menyuruh kami berhenti dan kami
semua diperbolehkan duduk sejenak selagi makanan berupa nasi perak dan kangkung
dibagikan ke batok kelapa yang menjadi piring untuk makan.
“Ajaib bukan?” Nando berbisik saat
mengunyah makanannya. “Makanan seperti ini saja terasa enak di saat tubuh capek
sehabis kerja fisik.”
Aku kesal karena sepertinya dia
menikmati momen ini, padahal Nando biasanya paling rewel soal bau keringat atau
tubuh yang lengket berdebu, “Jadi apa elu mau tinggal disini selamanya?”
Nando memandangku lalu mengangkat
bahu, “Mungkin tidak buruk selagi kita dapat makan setelah kerja keras.
Kadang-kadang ketidakadilan itu kan yang kita rasakan dengan menulis buku?”
Aku paham maksudnya, ratusan jam
yang kugunakan buat menulis suatu naskah belum tentu mendatangkan hasil sesuai
harapan, kadang aku masih sering meminjam duit untuk makan hanya gara-gara penerbit
terlambat membayar royalti karena belum mendapat pengembalian penuh dari toko
buku atau menunggu pembayaran dari penulisan iklan di medsos karena molornya prosedur
keuangan.
“Tapi ini romusha, da! Kita jadi
budak!” aku berkilah.
“Budak itu hanya ada disini,” Nando
mengetuk-ngetuk keningnya. “Bagaimana kalau gue bilang saat ini gue sedang
masuk dalam sejarah, karena gue sedang membantu membangun sesuatu yang bikin
kagum di masa kita. Jujur, pasti muncul pertanyaan kan di pikiran elu bagaimana
Jepang yang hanya tiga setengah tahun menjajah kita bisa bikin gua persembunyian
yang hampir mencakup satu kota Bukit Tinggi?”
“Memang itu sempat terpikirkan…”
“Ini jawaban elu,” Nando melayangkan
tangannya kepada pria-pria bercawat yang tengah menikmati makanan mereka. “Mereka
inilah pembuat sejarah itu. Meski menyakitkan tapi kami tahu yang kami kerjakan
sekarang akan terpatri untuk waktu lama. Kamu tahu yang kuingini dalam hidup
mas?”
“Apa?”
“Bila meninggal nanti gue akan
berada di kapal itu menuju bintang-bintang dan saat menengok ke bawah gue bisa
melihat hasil pekerjaan yang gue tinggalkan di bumi.”
Aku menahan gelak tawa dan ganti mengetuk-ngetuk
kening dengan telunjuk, “Sekarang gue yakin elu sudah sinting. Gimana kita bisa
lari dari sini?”
“Seberapa besar elu mau lari dari
sini?” tanya Nando.
“Sangat..sangat…sangat…”
“Kalau begitu menyanyi sama gue yaa…”
“Nyanyi?” gue berkata keheranan.
Nando nyengir jenaka lalu mulai
bersenandung,“Doshite…doshite…naite
umarete…itsuka nagarete hoshi ni natte iku ndarou…”
“Sejak kapan elu bisa bahasa Jepang?”
Nando terus menyanyi, “Ayo, lama-lama
elu pasti hafal liriknya...”
Bokura
wa doshite? Doshite?
Osowattenainoni
Namida
no nagashi-kata o shitteru ndarou…
…
Kokorokara
karada e, karada wa kokoro e
Tsurunaru
ikutsu mono
Karamiatta
rasen no moyo…
Nando tersenyum saat aku menyanyi
mengikutinya, wajahnya bersemangat, dan nyanyian kami pun makin keras sehingga
menarik perhatian orang-orang pribumi di sekeliling kami, beberapa mulai
melempari kami dengan sisa nasi atau sayur karena sepertinya mereka menyadari
bahasa kami yang mirip dengan bahasa para tentara yang menyiksa mereka.
Tapi kami tidak peduli…terus
menyanyi…hingga mandor yang mendengar nyanyian terkejut mendengar lirik lagu kami.
Aku bisa melihat ekspresinya yang memahami apa yang kami ucapkan meskipun aku
sendiri tidak tahu apa itu…
Dia menarik kami dari kerumunan
dengan melecutkan cambuknya sebagai tanda agar orang-orang berhenti melempari
kami. Dia mendorong-dorong kami kembali ke ruang makan dimana para tentara itu
masih juga berkumpul disana, mereka tertawa-tawa sembari mengangkat cangkir
sake. Sang mandor mengucapkan sesuatu dengan sesekali menunjuk-nunjuk kami dan
memberikan jempolnya.
Sang pimpinan yang tadi memeriksa
mulutku memandang tak percaya lalu menegur kami berdua, “SĹŤdesu ka? So no baai,
watashitachi no tame ni utai nasai….”
Kami hanya berpandangan, tak
mengerti apa ucapannya, tapi si mandor membuat gerakan seperti menyanyi
sehingga akhirnya kami sadar untuk apa kami dibawa kemari. Sepertinya mereka tengah
dalam sebuah pesta dan perlu artis untuk menghibur. Nando memandangku, “Ini
akan menjadi malam yang panjang. Elu hafal syairnya?”
“Nyanyi saja keras-keras. Gue akan
mengikuti…”
Para tentara itu memandang takjub
dan kesenangan setelah kami menyanyikan lagu itu, memintanya untuk
mengulanginya lagi, dan sekali lagi. Ketika mereka meminta lagu lain kami
mengulanginya lagi tapi kali ini mengajari mereka untuk menyanyikannya
bersama-sama dengan kami. Mau bagaimana lagi karena Nando hanya punya satu lagu
itu yang dia hafal.
Untunglah mereka sudah cukup mabuk dengan sake yang diminum
berulang-ulang sebelum kami datang sebagai penyanyi sehingga di kali kelima
kami menyanyikan lagu itu, disertai dengan rasa bosan, para tentara dan
komandannya pun terkapar tak sadarkan diri di meja…
“Ayoo…” kata Nando setelah memastikan
bahwa para tentara itu benar-benar tertidur oleh pengaruh alkohol. “Kita harus
bergegas karena di tempat ini bukan hanya mereka ini saja tentaranya.”
Nando meraih tas kami yang untungnya
masih tergeletak di meja dekat kaki si komandan, setelah itu dia mengajakku pergi
ke tempat yang seingatku merupakan dapur umum. Beberapa gadis sedang bekerja di
tempat itu, memasak sesuatu dalam kuali-kuali besar, rupanya dari sana jatah
nasi dan tumis kangkung kami berasal, aku tidak tahu mereka sedang memasak
untuk apalagi sebab waktu makan bagi para pekerja baru lewat sekitar setengah
jam lalu…mungkin ini jatah makanan untuk pesta pora sang komandan.
“Pssst…” Nando berdesis kepada salah
satu yang berada di dekat penumbuk padi.
Gadis itu menoleh dan memandang
kebingungan saat melihat kami berdua, sedikit ragu-ragu ketika Nando
melambaikan tangan sebagai isyarat agar gadis itu mendekat. Gadis itu
bergeming, menahan diri di tempatnya, melongok bergantian antara ke arah para
perempuan yang memasak di dapur atau kepada kami. Baru saat Nando menyebut
namanya dia pun memutuskan menghampiri.
“Darimana kamu tahu namaku?” tanya
gadis itu.
“Kamu mau bebas dari sini?” sela
Nando tak sabar. “Ikut kami.”
Tanpa menunggu jawaban si gadis,
Nando memegang tangannya lalu kami berdua berjingkat cepat meninggalkan dapur.
Kami meninggalkan lorong utama menuju ke jalur dimana kami tadi berlari-lari
dari penjara tanpa gangguan.
Aku mengira semuanya akan baik-baik saja dan
rencana Nando mengeluarkan kami dari sini akan berjalan mulus ketika tahu-tahu
terdengar ledakan di belakang kami. Tembok yang berada dekat sekali di bahu
kiriku pecah, menghamburkan kepingan yang panas ke bahuku, “LAAARRRIIII…”
Tembakan kedua berdentam tapi kami
sudah keburu lari sheingga tembakan itu pun meleset. Tidak mudah bagi gadis itu
untuk lari dengan kain yang melilit kakinya sehingga kami berdua nyaris
menyeretnya supaya bisa melangkah lebih cepat.
Teriakan-teriakan keras mulai
terdengar bersahutan dari orang-orang yang mengejar kami, agaknya para tentara
lain sudah menyadari ada tawanan yang hilang sehingga mereka melakukan pencarian
dengan cepat demi mendapatkan kami.
Kami terus berlari dan berlari…rasanya
seperti berada dalam labirin dan tidak akan menemukan jalan…aku tidak ingat
kemana harus melangkah karena mengingat rute atau arah memang jadi kelemahanku.
Pernah aku mencari-cari mobil yangh terpakir dalam tempat parkir mall yang baru
sekali itu kukunjungi dan akibatnya aku tidak menemukan mobilku sampai petugas keamanan turun tangan. Pada saat ini, peran petugas keamanan itu ada
pada Nando yang untungnya ingat kemana kami harus pergi.
Yang menganggu Nando bukanlah rute
seperti yang kukuatirkan, melainkan gadis yang kami bawa. Dia tidak berhenti
berteriak-teriak, minta supaya kami menurunkan dia dan meninggalkannya, dia
pasti ketakutan pada tembakan-tembakan tentara Jepang tapi seharusnya dia
menyadari kami juga merasakan hal yang sama.
Kami berdua terus menariknya, meninggalkan
gadis itu adalah pilihan yang tidak mungkin bagi Nando, dan kami melakukannya
di bawah hujan peluru sampai tiba di pintu lorong yang terhubung dengan penjara.
Aku membuka jeruji penjara hingga
terhempas keluar. Tanganku menarik gadis itu dan dia keluar melewati pintu
penjara. Namun Nando melepaskan genggamannya. Dia membuang ranselnya ke arahku,
menutup jeruji penjara, dan menggembok selotnya dari balik celah jeruji. Aku
berteriak kalut, “NANDO…KELUAR…KELUAR….”
“Seseorang harus menahan mereka
disini sampai kalian benar-benar bisa keluar dari gua,” sahut Nando tak
mempedulikan ucapanku.
“Nggak…nggak…nggak harus begini…elu
cari mati…” kataku menghantam jeruji dengan marah. Aku berusaha merebut kunci
dari tangannya tapi dia mendorongku.
Nando berpaling pada gadis yang kami
bawa, “Nando…” gadis itu terdiam memandangi temanku, air matanya meleleh saat
Nando memberikan kunci gembok kepadanya. “Namaku Nando… ingatlah aku…”
Gadis itu mengangguk, “Aku akan
mengingatmu…”
“Makasih, Inyiak…” Nando tersenyum dan
setelah itu si gadis menghilang dari pandanganku. Ketika aku masih dikuasai
oleh kekagetan Nando menatapku, “Elu sekarang pergi dari sini…”
Aku mengguncang jeruji itu, “Nggak!
Gue nggak akan meninggalkan elu…”
“LAARRIII…” jeritan Nando terhenti karena
popor senapan menghajar dagunya.
Aku kalap melihat Nando roboh dengan
bibir pecah mengeluarkan darah. Dari balik jeruji aku berhasil menghajar perut
tentara yang berusaha menjambak rambut temanku, tentara itu terhuyung ke
belakang sembari memegangi perutnya.
Namun teman-temannya yang berhasil
menyusul mengarahkan senapannya kepadaku dan aku sadar bahwa aku tak boleh
menyia-nyiakan nyawaku yang berusaha diselamatkan Nando…
“LAARRRIIII…” jerit Nando dalam
usaha terakhirnya membuatku pergi sementara dua orang tentara menariknya
menjauh dari pintu penjara. Dia tak perlu melakukannya lagi sebab aku menyambar
tas kami dan terbirit-terbirit sementara para tentara itu memaki-maki seraya
mengguncang-guncangkan jeruji penjara yang sudah dikunci dari luar oleh Nando
beberapa menit sebelumnya.
***
Aku tidak tahu harus mengatakan apa…hanya
saja rasanya semua jadi serba salah…
Meninggalkan Nando di tempat itu…
Tidak memberitahukan apapun ke
keluarga Nandi soal musibah yang terjadi…
Aku memandangi tiket di tanganku.
Aku menemukan tiket itu berada di dalam tas Nando. Rupanya dia sudah memesankan
tiket pulang untukku ke Jakarta. Yang membuatku terpana karena hanya ada
selembar tiket dalam amplop itu…selembar tiket bertuliskan namaku…seolah-olah
Nando tidak merencanakan untuk pulang ke Jakarta setelah semua ini…
Apakah Nando
tahu kalau dirinya tidak akan dapat keluar dengan selamat dari tempat itu? Atau apakah ini
memang rencana bodohnya lagi menjadi pahlawan buatku?
Aku
tidak perlu pahlawan…aku hanya perlu temanku berada di sisiku saat menunggu
pesawat di ruang tunggu ini…pada saat itu ada pesan masuk ke ponselku…dari mpok
mercy…
Aku membacanya antara rasa percaya
dan tidak percaya…aku butuh beberapa menit untuk mencerna pesan yang kubaca…semua hal yang
terjadi padaku dalam beberapa jam ini…semua misteri ini….sepertinya terlalu
bertubi-tubi mendatangiku dan aku tidak sanggup menanganinya….jadi aku merespon
singkat…
Kuakhiri pembicaraan di teks begitu
panggilan terakhir untuk pesawatku terdengar. Dengan gontai aku masuk ke kabin
pesawat dimana beberapa mata menatapku dengan sebal, mungkin karena aku orang
terakhir…juga yang terlambat masuk ke pesawat sehingga bikin molor jam take off pesawat berjadwal terakhir yang seharusnya sudah dilaksanakan lima menit sebelumnya…
Aku senang karena mendapat kursi
tanpa teman di dua deretan sebelahnya, jadi aku nekad duduk dekat jendela
setelah menaruh ransel ke bagasi yang ada di atas kepala, kenyamanan yang sungguh
layak kudapatkan setelah melalui segala peristiwa misterius yang menegangkan
syaraf dan tidak sampai lima menit pesawat pun tinggal landas.
Kutatap layar monitor yang terpasang
di kursi depanku. Belum pernah aku naik pesawat dengan fasilitas video atau pun
lagu, lengkap dengan ear phone siap pakai yang ditaruh di kantung belakang,
tapi ini pesawat dengan kelas premium inilah yang dipesankan Nando untuk
kepulanganku ke Jakarta.
Aku memasang ear phone dan mendengarkan video musik yang
dimainkan pemutar. Membiarkan beberapa lagu berlalu sementara aku makin
dikuasai kantuk hingga terdengar alunan nada ini…nada yang segera bikin mataku
terbelalak…nada yang familiar di telinga…ini…ini lagu Nando….
Segera aku membaca judul lagunya, Hoshi no Utsuwa, soundtrack dari Naruto The Last Movie….aku menyimak
syair Inggris yang merupakan terjemahan bahasa Jepangnya dan aku tertawa…tertawa
sementara di saat bersamaan air mataku pun mengalir deras…air mata yang
tertahan ketika aku kabur dari Lobang Jepang.
“Akhirnya gue mengerti semuanya,
kawan…” aku mendesis.
Nando memang harus datang ke Lobang Jepang itu untuk menyelamatkan neneknya. Terbayang olehku bagaimana gadis itu di jamannya sudah berkumpul kembali dengan bahagia dan penuh haru pada keluarganya, dan beberapa tahun lagi siap untuk melahirkan keturunan yang nantinya akan melahirkan Nando...
Nando harus melakukan kegilaan ini, bila tidak maka tidak akan lahir seorang pria bernama Nando yang siap membantu teman-temannya dan memberi mereka senyuman hangat yang mendorong penulis-penulis lain lepas dari writer's block...dia harus melakukan ini untuk memberi kesempatan baginya menikmati kisah kehidupan meskipun itu harus diakhiri pada usia yang masih muda...
Pada saat itu pandanganku tertumbuk ke luar jendela…sesuatu yang berpendar nampak berenang mengarungi langit malam…. benda itu sepertinya tengah mengikuti pesawat yang kutumpangi, mengerjap sejenak padaku bagaikan pria genit mengedipkan mata kepada gadis incarannya lalu mulai membumbung naik menuju deretan bintang di angkasa…
Nando harus melakukan kegilaan ini, bila tidak maka tidak akan lahir seorang pria bernama Nando yang siap membantu teman-temannya dan memberi mereka senyuman hangat yang mendorong penulis-penulis lain lepas dari writer's block...dia harus melakukan ini untuk memberi kesempatan baginya menikmati kisah kehidupan meskipun itu harus diakhiri pada usia yang masih muda...
Pada saat itu pandanganku tertumbuk ke luar jendela…sesuatu yang berpendar nampak berenang mengarungi langit malam…. benda itu sepertinya tengah mengikuti pesawat yang kutumpangi, mengerjap sejenak padaku bagaikan pria genit mengedipkan mata kepada gadis incarannya lalu mulai membumbung naik menuju deretan bintang di angkasa…
Aku melambaikan tangan, “Selamat
jalan, kawan…hiduplah bersama bintang-bintang itu…”
Apakah kisah yang kualami bersamamu
nyata? Apakah itu cuma khayalanku? Apapun itu, kuharap kamu, di tempatmu yang baru diantara bintang-bintang cantik itu, happy membaca kisah yang
nantinya akan kutulis di blogku. Sementara musik terus mengalun di telinga, aku membiarkan air
mataku membanjir….
Kokorokara karada e
karada wa kokoro e
Tsurunaru ikutsu mono
Karamiatta rasen no moyo…
No comments:
Post a Comment