Masih dikuasai kantuk, kantuk yang menyerang tak tertahankan ketika
hubungan terakhir yang kulakukan semalam adalah bicara dengan anakku yang sedang
liburan di Jerman, tengah malam disini sama dengan sore hari waktu disana, dan
setelah itu tenggelam dalam kalimat demi kalimat...kantuk gara-gara begadang menyelesaikan tulisan buat blog…
TRRRTTTTT….TTTRTTTT…
Aku terbangun saat ponsel sialan
yang lupa kumatikan sebelum tertidur itu bergetar-getar tak karuan.
Aku mengerutkan kening karena tidak
mengenali nomor ponsel di layar, tapi tidak mungkin yang menelepon para sales
kartu kredit atau asuransi karena mereka tidak serajin itu menelepon orang
sepagi ini. Jadi kuangkat saja ponsel itu dan suara seseorang yang sudah lama
tak kudengar menyambar di pengeras suara,
“Pagi,
mas…sori nih, ganggu ya?”
“Ganggu
sih soalnya gue lagi mau serangan fajar dan tahu-tahu denger suara elu…”
Si
penelpon meledak dalam tawa, “Gokil loe mas… belum sempet buka celana, kan?”
“Nggak
perlu gue foto dan kirim ke elu, kan?”
“Nggak
usah, nggak nafsu juga gue lihat elu…”
“Siiaull…loe…”
aku ikutan ketawa. “Betewe, siapa ini?”
Si
penelepon langsung berhenti ketawa, “Ini beneran? Elu nggak tahu siapa gue?”
“Kagak!
Nomor elu kagak tercantum di phone book gue.”
“Idih,
setan gundul, padahal gue udah still yakin banget…asli elu nggak tahu siapa
gue?”
“Gue
tahu siapa elu, tapi ponsel gue yang nggak ngenalin elu. Elu siapo seh?”
Si
penelepon ketawa lagi, “Garing lu mas!!!”
"Tumben
loe da, telepon gue pagi-pagi gini. Ada apaan?” akhirnya aku mengakhiri
gurauanku, juga dalam usaha mengumpulkan nyawaku yang masih berantakan di
ranjang.
“Udah
lama nggak ngobrol. Ketemu yuk…”
“Gue
baru balik dari Padang.”
“Gue
tahu, makanya gue mau ajakin elu ketemu…”
“Elu
tahu kan maharnya?”
“Masih
secangkir kopi?”
“Kopi
hitam dan panas.”
Sore
itu aku bertemu dengan si penelepon di salah satu café yang bertebaran di Blok
M, dia sudah berada di tempat itu ketika aku menjejakkan kaki di dalam bangunan
dan melhatnya duduk di meja paling pojok di sisi utara.
Dia sendirian…selalu
sendirian…aku tidak tahu kenapa padahal wajahnya yang baby face merupakan modal
buat digila-gilai para cewek dan aku tahu beberapa penulis cewek yang naksir
padanya…nyatanya dia masih tetap jomblo hingga saat ini.
Pria itu nampak santai
hari itu dengan kemeja denim dan celana jeans hitam, agak aneh juga mengingat
dia seharusnya masih berada pada jam kantor dan tentunya memakai seragam dinas di waktu seperti ini.
“Halo,
da!”
Dia
mendongak dan tersenyum melihatku, “Hai, apa kabar mas?”
“Udah
lama?”
“Nggak
lah. Baru juga lima menit. Gue baru pesenin minuman elu.”
“Tepat
waktu sebelum kopinya dingin,” aku berbinar melihat cangkir kopi yang tersaji
di meja. “Gimana kabar teman-teman yang lain?”
Kami
pun bertukar cerita mengenai kesibukan masing-masing. Mungkin lebih banyak aku
yang bercerita tentang diriku dan apa yang kukerjakan, dan menjadi makin
bersemangat ketika dia memuji novel komikku yang kurilis tahun kemarin.
Sudah
hampir dua tahun sepertinya kami tidak bertemu dan banyak hal yang terlewatkan
sepanjang itu hingga akhirnya aku terhenti pada bagian ketika aku menceritakan
pekerjaan yang kulakukan selama di Bukit Tinggi…
“Yeah,
gue sudah baca tulisan elu di Freaknco.”
Aku
menatapnya heran, “Seriusan?
“Yang
Lobang Jepang itu kan?”
“Gue
paham kalau elu pasti baca segala sesuatu soal kampung halaman elu. Tapi horor?
Kan elu anti banget sama horor...”
“Yah,
itu sialnya gue…gue baca tulisan teman-teman gue, yang lebih sialnya hampir
semua teman penulis gue nulisnya horor. Elu, Oke, Lonyenk, Embart…”
“Nah,
ini kabar gembira. Biar gue cerita sama yang lain, ah…”
“Jangan!”
wajahnya berubah memelas. “Bisa ge-er gila mereka nanti. Betewe gue mau nanya
soal cerita yang elu tulis itu…itu kisah beneran?”
Aku
mengangkat bahu seraya menyesap kopiku, “Cerita itu gue tulis karena gue dapet
mimpi aneh yang berulang-ulang waktu disana. Setelah gue menuliskannya sebagai
cerita di blog, mimpi itu pergi.”
“Jadi
elu nggak mimpi soal itu lagi?”
Aku
menggeleng, “Nggak!”
“Apa
itu…pertanda?”
“Pertanda
apa?”
“Semacam
pesan mungkin? Dari si Fandi ini?”
Aku
tersenyum, “Namanya juga belum tentu Fandi…atau Siti, buat pemeran wanitanya…gue
aja yang kasih nama itu buat karakternya. Yang gue lihat hanya serangkaian
gambar-gambar adegan, jadi pria yang muncul di mimpi gue itu tidak ngasih tahu
namanya.”
“Elu
nggak pernah kepingin cari tahu apa yang elu mimpikan itu sesuatu yang nyata?”
“Kalau
gue harus cari tahu apakah setiap kali gue mimpi itu sesuatu yang nyata
kayaknya gue nggak ada kerjaan,deh,” aku menanggapi. “Gue pernah loh mimpiin
elu married sama Rhein, apa gue harus cari tahu juga itu nyata apa nggak?”
Nando
gelagepan, “Nggak usah. Karena itu horror!”
“Yang
jelas Embart yang bakal ngakak gegulingan kalau itu bener kejadian,” aku
menyeruput kopiku lagi. “Kenapa sih elu tiba-tiba tertarik sama cerita Lubang
Jepang itu? Gue nerbitin novel ‘Yang Belum
Mati di Jeruk Purut’ elu nggak pernah nanya apa cewek yang ketipu sama
gerombolan pembuat film porno itu memang beneran ada.”
Nando
menatapku lekat-lekat lalu menjawab lirih, “Ini mungkin terdengar gila tapi apa
yang terjadi sama tokoh bernama Siti di cerita elu itu ada hubungannya sama Inyiak
gue.”
“Inyiak? Kenapa memangnya sama nenek elu?”
Dia
menceritakan kisah yang membuatku terbelalak, kisah yang disebutnya tidak
pernah keluar dan diceritakan dari mulut sang nenek kepada siapapun di
keluarganya selain kepada Nando, dan saat itu dia membaginya denganku.
Nando
mengakhiri ceritanya dengan pandangan penuh harap, “Gue yakin elu nggak kebetulan
dapet mimpi itu dan menuliskannya. Takdir pasti sudah menentukan kalau gue akan
membaca cerita elu. Maka dari itu elu mau kan menemani gue kesana?”
Aku
mengerutkan kening, “Kesana? Kenapa nggak elu sendirian aja kesana kalau memang
elu yakin?”
“Karena
elu adalah penghubung kisah ini dan gue nggak yakin bisa menemukannya kalau elu
nggak ikut, mas!”
Pertemuan
dengan Nando kuakhiri dengan menggantung karena aku tidak tertarik dengan ide
sintingnya. Tetapi kawanku itu orang yang sangat sabar dalam membujuk orang
sehingga akhirnya aku menyerah.
Sesuatu yang tadinya kusangka sebagai ide
fantasinya ternyata berakhir dengan keberadaan diriku dalam pesawat terbang,
duduk bersebelahan dengannya dalam penerbangan sore hari, dikelilingi awan
mendung yang pekat terlihat dari balik jendela pesawat.
Nando selalu bisa
membuatku terkaget-kaget tapi mau bagaimana lagi kalau perjalanan ini sudah
dibayari tiketnya oleh dia. Ini persis yang kualami pada masa awal-awal berkenalan
dengannya.
Aku
berkenalan dengan Nando ketika teman penulisku, Mpok Mercy, mengajak gabung ke Café
di Blok M, dimana disana sedang nongkrong penulis-penulis yang lagi
brainstorming buat bikin proyek bareng. Nando salah satu yang hadir disana dan
aku pernah dengar namanya diantara penulis lain karena pernah membaca beberapa
cerpennya di majalah.
Waktu itu aku masih belum
menerbitkan satu novel pun meski sudah punya beberapa naskah dalam laptop, tapi
sikapnya sangat rendah hati ketika berkenalan denganku, tidak menganggap
pengalamannya yang sudah menahun dalam menulis itu sebagai sesuatu yang bikin
dadanya membusung. Berikutnya, tiga hari berselang setelah pertemuan itu dia
menghubungiku dan mengajak nongkrong bareng.
Sebagai introvert aku jarang mengajak orang asing yang baru pertama kali bertemu
buat nongkrong bareng, aku biasanya menunggu pertemuan ketiga atau
keempat dengan seseorang sebelum bisa memutuskan untuk hang out dengannya, tetapi Nando melakukannya dengan kecepatan gigi lima dan meski kurang nyaman pada mulanya tetapi itu merupakan awal dari hubunganku dengannya sampai hari
ini.
Tiga
jam kemudian kami menjejakkan kaki di kota Padang, tadinya aku kira dia akan
mengajakku menginap lebih dulu tapi ternyata kami melanjutkan perjalanan ke
Bukit Tinggi dengan mobil umum yang mengantar kami melewati Lembah Anai yang
berkelok-kelok diantara gelapnya malam. Adzan sudah lama berlalu sejak mobil
kami mengawali perjalanannya di Padang, aku menatap tegang pada kelokan dan
jurang tak terlihat yang siap mengancam menggulingkan mobil bila bila supir
mengalami kelalaian.
Selama
bertugas di Bukit Tinggi aku belum pernah melewati Lembah Anai di waktu selarut
ini. Jam tujuh malam adalah waktu termalam yang pernah kutempuh untuk pulang
pergi Padang-Bukit Tinggi, tapi dengan mobil carteran yang pengemudinya sudah
dikenal Nando ini sepertinya sang supir tidak ada masalah dengan waktu, seperti
halnya supir-supir umum lain.
Dan supir ini nampaknya mengenal wilayah
ini dengan baik sehingga meski melewati deretan mobil dari arah berlawanan, yang
lampunya juga menyilaukan, dia melewati jalanan dengan santai diiringi musik
melayu yang dipasang keras sekali di loud speaker.
“Lobang
Jepang…” desis Nando yang membuyarkan lamunanku. Matanya memancarkan semangat
yang membara. “Hayuk turun mas.”
Nando
memberitahu supir untuk meninggalkan kami setelah membayar ongkos perjalanan.
Aku menatap tak percaya pada gerbang di hadapanku…memang itu yang tertulis
disana Taman Wisata Panorama…pada siang hari taman ini menghadirkan panorama
Ngarai Sihanok yang cantik, tapi saat ini hanya lampu-lampu temaram dan
pepohonan muram yang dapat kupandang…
Taman Wisata Panorama adalah tempat
pertama yang harus kami lewati karena di bawah taman inilah terdapat Lobang
Jepang…dan aku buru-buru menyalakan senterku melihat Nando sudah lebih dulu
berjalan melewati pagar dan masuk ke dalam taman tersebut…
Penulisnya mau jeda dulu...terengah-engah...sebelum nyambung ke BAGIAN 2
No comments:
Post a Comment