Starring by: Sofia Adios, Lia Waode, Ayub Darjam, Efritha
Belliana
Tripe A Films
Bermula dari keadaan harus
memilih antara Misterius dengan Paranormal Activity dan saat itu gue
langsung memilih Misterius, mengingat
saya selalu belajar mencintai buatan anak negeri dan kenyataan menyedihkan
bahwa kemungkinannya film Indonesia hanya bertahan satu-dua minggu di bioskop,
seperti halnya Cai Lan Gong yang belum sempat gue posting tapi ternyata filmnya
sudah turun di semua teater di Jabodetabek...so sad...so you have to wait for
next week dear Paranormal Activity...
Kejutannya, entah menyenangkan
atau malah miris, ternyata gue benar-benar sendirian di dalam ruang putar XXI.
There’s really no other person there, man...can you imagine, man? Totally alone
and watching horror movie...I said to myself...”Damn! Is it really happening to
me?” tapi ya disitulah gue berada dan gue duduk dengan manisnya setelah memilih
bangku the best view tanpa mengindahkan nomor kursi yang tertera di tiket.
Dan bagian awal film ini memang
penuh dengan adegan-adegan penampakan yang bikin saraf tegang dipacu ke tensi
tinggi. Sayangnya setelah kedatangan si paranormal yang menolong keluarga Lestari
Sucipto tensi ketegangan jadi menurun. Sang paranormal yang menjadi sumber
jawaban dari semua tanda tanya telah memberitahukan semuanya.
Bahkan gue sempat merasakan
ngantuk yang nggak karuan di bagian ketika Wulan mencari Agus di alam kematian
dan Ibu Lestari yang terjebak begitu lama di kegelapan sampai akhirnya bertemu
dengan nenek Sumiyati....menurut gue bagian itu terlalu lambat dan dragging...sepintas
juga adegan itu mirip adegan Insidious ketika tokoh si paranormal masuk ke
dunia kematian dan mencari orang yang harus diselamatkannya...
Yang membuat gue senang menonton
film ini karena membawa kenangan ke masa kecil gue tentang Bondowoso. Yup,
bokap gue asli Bondowoso dan kota itu bukan kota asing karena beberapa kali
mengunjungi mbak kakung dan mbah putri yang tinggal disana. Gue
tersenyum-senyum melihat bu Lestari keluar dari ranjang kelambu saat mendengar
suara tawa hantu, begitu juga dengan Wulan, dan kenyataannya di tahun 1989
masih banyak orang Bondowoso yang tidur di bawah ranjang kelambu karena gue
juga mengalaminya.
Lalu keberadaan sumur timba di rumah Sumiyati...man,
gue bersyukur karena masih sempat mengalami masa sumur timba...dan kalau gue
mandi di rumah mbah di tahun itu gue dan
adik gue memang berdiri di samping sumur timba sementara ibu gue menimba sumurnya
untuk menggerojokan air mandi. Jadi sumur timba di Bondowoso it’s mean
something...
Di tahun itu juga mbah putri masih suka memakai jarit di rumah. Daster belum menjadi pakaian yang ngetrend sehingga jangan heran kalau kalian akan melihat ibu Larasati kemana-mana memakai jarit, bahkan saat dia pergi ke rumah Sumiyati buat mencabut susuknya seperti perintah si dukun, karena memang begitulah wanita-wanita Bondowoso berpakaian pada tahun itu.
Dan percaya tidak percaya,
orang-orang Bondowoso memang percaya hal-hal berbau supranatural. Gue inget
cerita bokap tentang mbah putri yang pergi ke Semarang – waktu itu kita tinggal
di Semarang – dari Bondowoso dengan membawa kepala kerbau dan menyuruh bokap
gue menanamnya di halaman kantor dengan maksud supaya bokap gue mendapat
jabatan yang bagus.
Well, mungkin sebagian dari
kalian akan berpikir keluarga gue terlibat dalam hal klenik atau ilmu gelap but
no...bokap gue mengambilnya dari sisi positif bahwa itu dilakukan sang ibu demi
mendukung dirinya. Lagipula siapa sih yang sudi ambil resiko memasukkan kepala
kerbau ke kabin bis yang baunya pasti kentara banget sepanjang jalan.
Membayangkan itu saja kami tertawa geli.
Muhammad Yusuf melakukan survey
dengan baik atau mungkin dia juga mengalami yang sama dengan gue tentang tahun
itu, yang kurang seharusnya tokoh-tokohnya memakai sedikit dialek Madura.
Dialek itu masih tetap kental sekalipun digunakan dalam bahasa Indonesia
sebagai percakapan di film.
Sayang, ada sedikit missed yang dilakukan di film ini. Ketika ibu Larasati sedang memandang cermin, setelah dia melihat bayangan masa lampau Sumiyati menyisir rambutnya, gue rasa momen itu ibu Larasati sudah kembali ke masa kini dan seharusnya di ranjang di belakangnya terbaring mayat Sumiyati seperti di adegan di sebelumnya. Tapi di adegan itu nampak kamera sempat menyorot ke cermin dan cermin yang merefleksikan ranjang di belakang ibu Larasati tidak menampakkan mayat Sumiyati.
Sayangnya yang kedua, title Misterius di
film ini sama sekali tidak mencerminkan isinya. Sepanjang film gue kehilangan
arti dari bagian mana yang seharusnya menjadi misterius? Apakah kematian
Sumiyati yang dianggap misterius? Ataukah bagaimana misteriusnya hantu
gentayangan di rumah Sucipto?
Saran gue, akan lebih misterius
dan tidak mudah ditebak apabila Muhammad Yusuf membalik adegan prolog (dimana
si paranormal membuang jarum-jarum susuk ke sungai) dan epilog (saat nenek
Sumiyati membuang bayi di tahun 1969). Rasanya kalau kedua adegan itu ditaruh
secara berbeda, adegan buang bayi ditaruh di depan maka ending ceritanya tak
akan dapat diterka dengan mudah dan akan lebih menaikan tensi ngeri.
Menurut penilaian gue film ini
tidak berkategori istimewa tapi juga tidak terlalu buruk, apalagi mengingat
Muhammad Yusuf mengambil peran sebagai Produser, Sutradara, bahkan sampai
penulis naskahnya. Semua lini penting dia pegang dan pastinya ini karya
pertamanya yang ingin dia buat dengan seluruh darah penghabisan.
No comments:
Post a Comment