Saturday, June 10, 2017

SEBATANG ROKOK MEREK OLIMPIA…

            
Gerimis mengguyur pengunjung makam yang sebagian besar mengenakan pakaian serba hitam. Payung-payung berwarna senada menjadi peneduh dari rintikan hujan yang seakan menjadi simbolisasi kesedihanku yang sedang berjongkok di timbunan tanah yang baru saja diuruk untuk menutupi jenazah yang ada di dalamnya. Satu persatu pelayat meninggalkan makam, mereka seakan menghindari untuk mengangguku yang larut dalam kesedihan.

            Pria itu berdiri tak jauh dariku. Tepat di sisi sebelah makam. Sama seperti pelayat lain, ia juga membiarkanku sendiri sampai puas meratap. Setelah tangisan ini mereda, aku baru menyadari kehadirannya saat mendongak dan kulihat matanya menatapku penuh kemarahan.


           “Puas kamu sekarang ! Sudah kubilang kamu nggak sanggup ngurus Amy.”

           “Itu kecelakaan, Yan ! Kecelakaan !”

           “Tidak akan terjadi kalau kamu bisa jaga Amy...”

           “Aku harus kerja buat menghidupi diriku dan Amy…”

           “Kamu tidak pernah harus begitu saat kita menikah, bukan?”
   
   “Suster itu sudah kupecat ! Puas?”
            
         “Tidak menyelesaikan apapun. Itu bukti bahwa kamu bukan ibu yang baik.”
           
           “Apa maumu Yan? Membunuhku di depan makam Amy?”
        
         “Itu terlalu enak buatmu. Aku tidak menyesal kita cerai. Yang kusesalkan adalah aku tidak memperjuangkan hak asuh Amy. Bila itu kulakukan, Amy pasti masih hidup sekarang…”

  Air mataku mulai menggenang lagi di pelupuk mata. Namun sebelum sempat membalas perkataan menyakitkan itu, Yan pergi meninggalkanku. Ucapan Yan kedengaran tak adil, meski aku sadar bahwa banyak kebenaran terkandung di dalamnya. Sejak memutuskan menggugat cerai Yan, dunia seolah terputar balik. Semuanya jadi serba salah.

 Mulai dari kenyataan bahwa ekspatriat asal Chili bernama Ramon ternyata bukan cinta sejatiku meskipun demi pria itu aku akhirnya memutuskan tali ikatan suami-istri dengan Yan yang sudah berjalan lima tahun, sampai pada keterpaksaan ekonomi yang memaksaku bekerja dari siang sampai malam demi memenuhi kebutuhan perut Amy dan membayar kontrakan kumuh tempat kami berdua tinggal.

Gengsiku lebih mengalahkan penyesalanku mencampakan Yan yang sebenarnya masih mencintaiku. Demi menutupi kegagalan dengan Ramon, aku bertekad survive sebagai single parent sehingga demi memenuhi kebutuhan yang besar dari gajiku yang kecil sebagai kasir kantin di sebuah perkantoran, aku mengambil pekerjaan sambilan sebagai penari striptis di malam hari. Meski tidak mendapat gaji bulanan, tips mereka besar dan aku senang sebab di klub itu aku tidak diharuskan melayani hubungan seksual dengan para tamu bila aku tidak berkenan.  
       
       Namun seperti Yan bilang, mengijinkan pria-pria hidung belang itu menatapi tubuhku dengan rakus sama nistanya seperti memberikan kepercayaan kepada Nursida buat menjaga Amy. Padahal aku tahu Nursida bukan suster berpengalaman buat menjaga anak umur lima tahun, masalahnya aku tidak punya pilihan lain sebab aku butuh seseorang untuk membantu menjaga Amy dengan segera dan hanya Nursida yang mau digaji murah.
         
        Dan seperti diriku, yang tak bisa menjaga tubuhku agar jangan sampai digerayangi dan akhirnya ditiduri akibat pemikirannya yang naïf pada klub tempatku menari, begitu juga akhirnya aku harus kehilangan Amy yang jatuh ke sumur di belakang halaman rumah kontrakan dan tenggelam disana karena Nursida kelewat asyik bertelpon ria sehingga baru sadar kehilangan Amy satu jam kemudian.
        
       Sejak pemakaman Amy minggu lalu, tidak satu malam pun lewat tanpa air mata bagiku. Meratapi ranjang kosong dan boneka Barbie yang menatap bengong karena pemiliknya telah pergi. Aku meratap saat Ramon meninggalkan diriku setelah semua yang kuperbuat untuk lelaki itu. Aku meratap saat Yan tidak mau menerima permintaan maafku sebab tidak yakin aku cukup bersungguh-sungguh setelah mempermalukan dirinya dengan perceraian. Namun ratapanku tidak sehancur saat meratapi Amy sebab aku sadar aku tidak akan bisa mendapatkan belahan jiwaku kembali…
   
    “Ya, Tuhan…kenapa Kamu harus ambil Amy dariku ? Kembalikan dia padaku…aku tidak kuat menahan sakit di hatiku ini….tolong…tolong aku…tolong aku mengatasi rasa sakit ini…aku ingin Amy hidup lagi…” Harapan tinggal harapan dan gerimis tetap mengguyur deras menemani linangan air mataku…

***
            “Halo…”

           Aku menatap gadis yang sedang berdiri di hadapanku. Gadis itu cantik, tingginya lima senti melebihiku yang memiliki ukuran tinggi diatas rata0rata wanita Indonesia, yakni 165 senti, dan dia nampak semakin tinggi dengan sepatu high heels yang dia kenakan. Tubuhnya yang padat dan ranum dibungkus seragam ketat dan mini yang menunjukan dirinya Sales Promotion Girl produk rokok. 

Yang paling menarik perhatian Melissa adalah rambutnya yang tergerai panjang dan berwarna pirang. Entah kenapa Melissa yakin itu bukan sepuhan pewarna rambut, dan rambut itu makin menambah kecantikan wajah sang gadis yang berwajah oval.

            “Sorry…saya lagi melamun. Meja nomor berapa?”

         “Saya bukan mau bayar,” sahut gadis itu tersenyum. “Saya mau menawari barang.”

         “Oh? Apa itu?” ekspresiku berubah tidak senang. Orang-orang seperti ini biasanya hanya membuang waktu dengan pertanyaan dan obrolan tak tentu arah, padahal aku harus bekerja.

         Gadis itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, satu slop rokok bermerek Olimpia, “Bagaimana caranya supaya saya bisa menaruh barang dagangan saya di rak itu?”

       Aku menatap rak display, di sebelah mesin kasirnya, yang ditunjuknya, “Wah, anda harus bicara dulu dengan manajernya untuk itu…”

            “Boleh saya minta nomor boss mbak yang bisa dihubungi?”

    Aku memberikan selembar kartu nama dan gadis itu mengucapkan terima kasih.

            “Kantin ini selalu ramai, ya…”

            “Begitulah, mbak ! Soalnya di perkantoran sih jadi ada saja yang mampir makan disini.”

        “Makanya, disini cocok sekali untuk menaruh dagangan saya.”
  
          “Produk baru, mbak?” aku mencoba berbasa-basi.

            “Iya…”
  
        “Bedanya dengan produk-produk lain apa ya? Karena banyak rokok dijual disini…”

         Gadis itu mengeluarkan satu pak rokok yang sudah dibuka dan menawarkan tanpa bertanya apakah aku merokok atau tidak, sepertinya dia tahu kalau aku memang perokok. Aku memang perokok berat. Saat galau meratapi kepergian Amy, aku sampai menghabiskan dua setengah slop rokok tiap hari sendirian….sebuah jumlah yang pasti akan membuatku malu dalam situasi normal sebab aku memang sudah berjanji berhenti merokok demi Amy. Rasanya tidak ada satu haripun terlewat bagiku tanpa rokok terselip di jari tangan kecuali di waktu seperti ini sebab aku selalu memegang teguh prinsip itu.

        “Sorry, bukan bermaksud nolak tapi saya tidak merokok di jam kerja.”

        “Wah, sayang ! Soalnya saya ingin menunjukan rokok ini beda dari yang lain…”

        “Semua produsen rokok juga bilang gitu, mbak !” aku tertawa.

     “Yang ini lain. Rokok lain membuat mereka yang hidup jadi mati. Sementara Olimpia membuat yang mati menjadi hidup…”

       Aku terkesiap mendengar perkataan itu,“Bukan dalam artian mati yang sebenarnya,kan?”

         “Kalau memang benar begitu, kenapa mbak nggak coba?” ada suatu kekuatan di dalam tatapan sepasang bola mata biru sang gadis yang memberi pengertian tergila bagiku dan membuatku paham tanpa perlu menanyakannya secara verbal. “…walaupun itu berbahaya.”  

            “Kenapa?”

      “Tidak baik membangkitkan yang sudah mati karena itu melawan takdir.”
    
   “Saya akan tetap mencobanya…”
         
       “Lagipula saat menghembuskan nafasnya kepada manusia, Sang Khalik memberikannya dengan nafas suci.”
    
        Aku ketawa,”Saya memang tidak punya nafas suci tapi nafas saya cukup wangi…”

     “Oh, baiklah ! Kalau begitu silakan…” gadis itu menutup kembali tutup kotak rokoknya dan memberikannya padaku.

            “Makasih mbak….”

            “Athena….nama saya Athena.”

            “Nama yang bagus,” puji Melissa.

            “Terima kasih, Melissa.”

           Belum sempat menanyakan darimana gadis itu tahu namaku, Athena sudah pergi.  

***

        “Sudah mau pergi?” tanya Wati, teman kerjaku yang ikut menjaga kantin.

            “Ada urusan.”

            “Kamu mau ke klub itu lagi?”

          “Tidak !” jawabku. “Tidak ada lagi yang harus kukejar setelah Amy meninggal.”
            
            “Maaf, bukan bermaksud untuk…”
            
            “Nggak apa-apa. Aku mau mampir ke makam sebentar.”
            
          “Baiklah. Hati-hati. Kalau ada apa-apa jangan sungkan buat telpon aku.”
            
           “Makasih, Wat…”
        
      Jarak dari kantin tempatku bekerja ke pemakaman Amy lumayan jauh sehingga aku baru sampai dua jam kemudian dengan naik bis. Namun dua jam kali ini tidak terasa bagiku sebab banyak pertanyaan yang ingin segera didapat jawabannya begitu aku menjejakan kaki di kuburan.
   
      Jantungku menderu bagaikan genderang mau perang saat berada di atas makam anak gadisku, Amy. Rasa penasaranku hanya bisa dituntaskan dengan sebuah jawaban… dan itu dimulai dari….

      Aku mulai menggali tanah yang masih basah…menggali dengan sekop yang ditinggalkan kuncen kuburan di sebuah gubuk dekat makam Amy…menggali dan terus menggali hingga akhirnya ujung sekop menyentuh kayu keras yang merupakan peti mati Amy. Aku bergegas menyingkirkan tanah di sekitarnya dan membuka tutup peti.   

     Serangkum bau tak sedap dari mayat Amy yang mulai membusuk menghambur ke penciumanku, tapi itu tak kupedulikan. Aku duduk pinggiran peti mati dan mengambil sebatang rokok Olimpia. Menyalakannya dengan pemantik lalu mengepulkan asapnya ke udara. Rasanya tidak berbeda dari rokok-rokok biasa, malah lebih pahit tapi aku mau lihat apakah rokok ini memiliki khasiat seperti yang dikatakan Athena…

    Aku menyedot rokok dalam satu tarikan panjang lalu mengepulkan asapnya ke wajah Amy. Kepulan asap rokok menyeruak ke dalam hidung si gadis kecil dan menyelusup masuk hingga ke pori-pori kulitnya. Aku sampai bisa melihat asap keluar dari sana diantara kulitnya yang telah mulai rusak oleh pembusukan. Lima menit tidak ada reaksi apapun. Begitu pula lima menit berikutnya. Aku menyedot lagi kemudian menghembuskan asapnya ke wajah Amy. Tetap tidak ada reaksi apapun…
  
          Hampir saja menganggap diriku bodoh karena mempercayai anggapanku sendiri bahwa Olimpia bisa membangkitkan yang mati…mungkin itu memang hanya slogan pemasaran…. mendadak aku mendengar Amy terbatuk-batuk. Di tengah kepulan asap kelabu aku melihat gadis kecilku membuka matanya, “Mami?”

            Agak ngeri juga melihat bagaimana wajah Amy yang lebam dan hampir hancur itu menatapku tetapi bagaimanapun dia buah hatiku. Aku meledak dalam bahagia. Kupeluk anak gadisku satu-satunya itu kemudian menangis sesunggrukan melepas kebahagiaan yang tiada tara mendapati Amy hidup kembali, “Terima kasih Tuhan…terima kasih Athena…”

***

          Fajar telah merekah begitu taksi yang mengantarkan aku dan Amy sampai ke rumah kontrakan klami. Aku sama sekali tidak menyangka bahwa aku sudah menggali makam Amy sepanjang malam, namun itu tidak percuma sebab belahan jiwaku kini sudah bersamaku lagi.

         “Amy senang pulang ke rumah…” wajah dan kulit Amy yang tadinya hancur terlihat sedikit lebhi baik dibandingkan saat aku menariknya dari dalam kuburan beberapa jam lalu.
  
        “Mami juga. Amy mau istirahat lagi di kamar?”

        “Nanti aja, mi ! Amy lapar…mau makan….”

     “Ayo…tampang kamu pucat sekali. Kamu memang harus banyak makan,” aku membimbing Amy menuju dapur kemudian menyiapkan semangkok cereal dan segelas susu yang menjadi sarapan kesukaan Amy. “Dimakan ya. Kalau kurang nambah lagi.”
  
      Baru saja aku hendak mengembalikan kotak sereal ke atas sepen aku mendengar Amy berkata, “Nambah lagi mi…”

      “Ya, ampun. Sudah habis? Kamu cepat sekali makannya,” kataku tertawa demi melihat mangkok dan gelas yang sudah kosong. Kuisi lagi mangkok dengan sereal dan gelas dengan susu, yang ternyata licin tandas dalam waktu kurang dari lima menit. Amy meminta tambah lagi dan aku mengisinya lagi…begitu seterusnya hingga gadis kecil itu menghabiskan dua kotak sereal dan dua karton susu sendirian. Tujuh hari dalam kuburan tanpa makan, kurasa siapapun akan mampu menyantap sebanyak itu, tidak terkecuali anak berusia lima tahun.

      "Kamu pasti lapar sekali,” aku mengelus kepala Amy. “Biasanya kamu susah makan.”
            
             “Iya, mi…” Amy mengangguk.
           
         “Sekarang kamu sebaiknya ganti baju lalu istirahat. Mami harus kerja dulu.”
            
            “Mami nggak menemani Amy?”
         
        “Kepinginnya sih begitu. Tapi mami nggak bisa ijin atau bolos. Nanti mami minta tolong papi untuk temani kamu, deh.”
        
            “Bener?” mata Amy membulat senang. “Asyiiikkk…”

***

            “Apa kamu bilang? Amy hidup?”
    
            “Iya, Yan ! Dan sekarang dia ada di rumah kontrakanku.”
    
            “Kamu jangan main-main, mel !”
   
          “Bener, Yan ! Amy ada di rumah kok. Hari ini shift kamu lagi libur, kan?”

      “Iya…” sahut Yan masih tetap tidak percaya mendengar perkataanku.

        “Kamu bisa kesana kan buat jagain Amy? Tolong ya…aku harus kerja sampai siang,”

          “Oke. Tapi bener Amy hidup? Bagaimana ceritanya?”

         “Ceritanya panjang. Aku cerita kalau pulang nanti sore aja…”

         “Dasar ! Awas kalau kamu berani bohong.”

      “Nggaklah ! Oh, ya…aku sudah siapkan makan siang buat kamu di dapur. Makan siang Amy juga ada disitu, jadi jangan lupa kasih makan anakmu ya…soalnya dia sekarang doyan makan.”

        “Masa? Oke deh…” sahut Yan.

       “Udah dulu ya…aku harus melayani pelanggan. I Love you…”

      Aku menutup ponsel. Tersenyum, sebab aku yakin Yan kaget mendengar kalimat terakhirku tadi tetapi aku memang sedang berbunga-bunga saat ini. Athena benar, semangat yang telah mati dalam diriku mendadak terbangun kembali seiring dengan hidupnya Amy. Dan sekarang aku ingin coba merekatkan kembali keutuhan keluargaku bersama Yan, kalau itu bisa. Aku berharap Yan bisa memaafkanku bila mendapati Amy hidup kembali.

     Sedari tadi aku mencari sosok Athena karena ingin mengucapkan rasa terima kasihku secara langsung, sekaligus memperkenalkannya dengan pak Budiman, pemilik kantin sekaligus bossku yang kebetulan datang siang ini untuk menengok situasi tempat bisnisnya. Namun Athena tidak kelihatan batang hidungnya. 
      
      “Semuanya lima puluh ribu enam ratus…” kataku kemudian mengucapkan terima kasih setelah sang pelanggan menyerahkan uangnya.

        “Duile, neng ! Gembira banget kayaknya hari ini. Habis dapet lotere?” goda Wati.

         “Bisa aja kamu, Wati…” aku tersipu.

        “Atau jangan-jangan karena boss datang hari ini ? Jadi kamu mau nunjukin bagaimana rajinnya kamu supaya kamu bisa minta kenaikan gaji.”

      “Bukan begitu juga kaleee…” ucapku seraya mencubit pinggang Wati supaya berhenti menggoda.
  
        “Yaikks. Jangan main tangan, ah ! nanti suamiku marah,” kata Wati tertawa.

“Suami yang mana? Suami kamu kan sudah meninggal.”

”Maka dari itu! Jadi ada cerita apa nih?”
        
        “Amy hidup lagi…”
   
   “Siapa? Amy? Amy anak kamu?” Wati terkejut dan tak mempercayai pendengarannya. Namun ketika melihat binar di mataku, dia yakin aku sedang tidak main-main. “Serius? Bagaimana bisa?”

   “Kemarin ada SPG bernama Athena datang kemari dan memberiku ini…” aku memberikan sekotak rokok Olimpia kepada Wati. “…setelah itu semua keadaan berubah.”

     Wati melihat kotak rokok itu dengan pandangan aneh,”Yakin isinya bukan ganja? Kamu nggak lagi teler dan berhalusinasi anak kamu masih hidup, kan?”

      Aku tertawa, “Nanti malam kamu ikut ke rumah deh. Tapi kamu harus bawa kue tart ulang tahun buat Amy seperti janji kamu sebelum dia meninggal.”
  
      “Boleh. Kalau kamu membohongiku kamu harus ganti uang kue tartnya.”

            “Deal !”
***

            Aku memutar kunci pintu dan masuk ke dalam diikuti Wati. Kami menjerit kecil setelah aku menyalakan lampu ruang depan karena melihat sosok Amy duduk sendirian di sofa ruang tamu.

            “Kamu bikin mami kaget, Amy ! Kok sendirian disitu?”

            “Lagi menunggu mami,” jawab Amy tersenyum manis.

          “Ya, ampun ! Dia memang hidup lagi…” kata Wati melongo.

       “Tante Wati bawa apa?” tanya Amy menunjuk bungkusan besar yang dibawa Wati.

      “Oh, ini kue tart buat ulang tahun kamu yang terlewat kemarin,” jawab Wati sembari menaruh bungkusannya di meja dan membukanya.

          “Asyiiikkk…boleh dimakan? Amy memang sudah lapar.”

         “Papi kok tidak kelihatan? Dia kemari nggak hari ini, Amy?”

          “Nggak tuh…”

          “Dasar ! Seharusnya aku tahu Yan tidak bisa dipercaya.”

        “Ya, sudahlah. Toh Amy dalam keadaan baik-baik saja…” kata Wati menenangkan.

           “Titip Amy dulu ya Wat. Aku mau mandi dulu.”

            “Sip,” Wati mengacungkan jempol.

     Aku masuk ke kamar mandi. Hatiku panas bukan main mendapati Yan ternyata tidak datang buat menjaga Amy seperti janjinya. Dari dulu memang Yan selalu banyak mulut. Soal dia bisa menjaga Amy seperti yang dikatakannya di makam itu juga tak lebih dari omong kosong. Bila terjadi apa-apa sama Amy, maka aku tidak bisa memaafkan Yan…sama seperti aku tidak bisa memaafkan Nursida yang kabur entah kemana.

      Guyuran air dingin merentaskan panas di hatiku dan membuatku lebih nyaman. Apalagi ketika wangi sabun membalut seluruh tubuh hingga memberikan kesegaran baru yang mengusir seluruh penat yang kudapat hari itu. Setelah selesai, aku mengambil handuk dan mengeringkan rambut serta tubuh. Pandanganku tertumbuk pada sebuah benda yang ada di atas wastafel.
   
Kaca mata…
       
      Melissa mengambil benda itu dan mengamatinya…ini kacamata milik Yan…berarti hari ini dia memang kemari…tapi kenapa Amy mengatakan dia tidak ke rumah?
      
      “Amy, aku menemukan benda ini di…”

      Hatiku mencelos mendapati ruang tamu dalam keadaan kosong. Wati sudah tidak ada lagi disitu, tinggal Amy duduk sendirian menghadapi nampan kue tart yang tidak bersisa. Amy menatapku dengan senyum manis, “Ya, mami?”

       “Kemana tante Wati?”

       “Sudah pulang. Katanya ada urusan mendadak.”

      “Begitu mendadak sampai dia tidak membawa tasnya?” Melissa makin curiga.

       “Ya, begitulah ! Mami mau nanya apa tadi?”

   “Kenapa kamu bilang papi nggak kemari hari ini. Mami menemukan kacamata papi di atas wastafel kamar mandi.”
  
    “Mmm, mungkin aku nggak lihat soalnya aku tidur terus seharian,” jawab Amy dengan wajah tanpa dosa.
  
      Aku menghubungi nomor ponsel Yan tapi hanya dijawab dengan nada sambung.
  
          “Mami, ada makanan nggak? Aku lapar sekali nih.”

      “Lho, kamu bukannya sudah makan kue tart?” kataku menunjuk krim dan gula berwarna merah muda yang belepotan di sela mulut Amy.
    
     “Itu bukan aku yang habisin. Tante Wati yang makan semuanya.”
        
          “Ya, sudah tunggu disini. Tadi siang mami sebenarnya sudah siapkan makanan buat kamu yang ditaruh di sepen di dapur.”
      
          “Assyiiikkk…boleh ambilin buat Amy, mi?”
    
        Aku masuk ke dapur dan menghampiri lemari sepen. Di dalam sana kosong. Nasi, telur balado, ayam goreng, dan tumis kangkung yang sudah kusiapkan buat Yan dan Amy raib entah kemana. Mungkin Yan memang datang kemari dan menghabiskan semuanya. Dasar ! Terpaksa aku harus masak lagi buat Amy…

        Kuhubungi sekali lagi nomor ponsel Yan, kali ini bukan hanya untuk menumpahkan unek-unekku karena meninggalkan Amy sendirian sebelum aku sampai ke rumah tetapi juga karena menghabiskan semua makanan yang kutinggalkan. Saat itu aku mendengar bunyi samar, bersamaan dengan nada sambung yang mengalun dari balik ponselku. Aku tiba-tiba sadar bunyi samar itu adalah bunyi ponsel milik Yan. Jadi Yan ada disini. Tapi dimana dia?

       Aku memandang berkeliling. Mencari-cari darimana datangnya bunyi samar itu. Dan bunyinya semakin keras ketika aku mendekati kulkas. Aku memegangi pegangan pada pintu kulkas lalu menariknya. Kurasakan tanganku jauh lebih dingin daripada hamburan uap es yang mengalir keluar dari sela pintu kulkas.
  
          KKKKKYYYYYYYAAAAAAAAA….

     Jeritanku membahana saat melihat isi kulkas yang penuh potongan tubuh manusia. Jantung, limpa, kaki. Di bagian tengah aku melihat potongan tangan terselip diantara sepotong kaki dengan gelang yang melingkarinya…aku syok…itu kaki Wati…sementara potongan tangan itu menggenggam ponsel yang menyala akibat dihubungi oleh ponselku. Ponsel milik Yan…tangan milik Yan…

         “Kenapa mami teriak-teriak?” tegur Amy dari belakang.

     “Apa yang kamu perbuat pada papi dan tante Wati?” aku berteriak histeris.
  
          Amy cuma menyeringai,”Soalnya aku lapar…”

      Seringai itu seringai paling mengerikan yang belum pernah kulihat sebelumnya dari Amy. Gadis kecil berwajah pucat itu mengeluarkan sebilah pisau dan menancapkannya ke dadaku dengan sekali tusuk. Aku menatap Amy dengan tatapan tak percaya mendapati malaikat kecilku bisa melakukan hal keji itu padaku. 

         Hanya berselang beberapa menit aku ambruk ke lantai dengan bersimbah darah tetapi aku masih sempat merasakan gadis itu berjongkok di depan mayatku, mengiris telingaku tanpa aku merasakan sakit sama sekali lalu terdengar suara mengunyah dengan nikmat bagaikan seekor serigala diberi daging empuk.

       “Seharusnya mami tidak membangkitkan orang yang sudah mati!”


 END  

            

1 comment:

  1. I never believed things online but was desperately looking for a solution to get pregnant for my husband after my doctor told me I couldn't get pregnant, I went to Dr, Ediomo Omiri from my best friend who works in the same office. with me, I explained everything to Dr. Ediomo and she promised me she would help me and gave me some instructions I did everything perfectly so I went to the hospital after 3 weeks and to my surprise the doctor told me I am 1 week pregnant so far I have a beautiful girl thank you Dr Ediomo Omiri, please contact her if you have any difficulties,
    * If you want to get pregnant.
    * If you want a meeting with your husband/wife
    * If you want to get your boyfriend back.
    * If you want to cure any disease.
    * If you need spiritual power/ telekinesis
    * Family happiness spells
    * If you want to stop a divorce
    * If you want to stop abortion.
    And so on
    She is the perfect person to help you trust me. Contact her Whatsapp: (+2349132180420)
    Email drediomo77@gmail.com

    ReplyDelete