Gerimis
mengguyur pengunjung makam yang sebagian besar mengenakan pakaian serba hitam.
Payung-payung berwarna senada menjadi peneduh dari rintikan hujan yang seakan
menjadi simbolisasi kesedihanku yang sedang berjongkok di timbunan tanah yang
baru saja diuruk untuk menutupi jenazah yang ada di dalamnya. Satu persatu
pelayat meninggalkan makam, mereka seakan menghindari untuk mengangguku yang
larut dalam kesedihan.
Pria
itu berdiri tak jauh dariku. Tepat di sisi sebelah makam. Sama seperti pelayat
lain, ia juga membiarkanku sendiri sampai puas meratap. Setelah tangisan ini
mereda, aku baru menyadari kehadirannya saat mendongak dan kulihat matanya
menatapku penuh kemarahan.
“Puas
kamu sekarang ! Sudah kubilang kamu nggak sanggup ngurus Amy.”
“Itu
kecelakaan, Yan ! Kecelakaan !”
“Tidak
akan terjadi kalau kamu bisa jaga Amy...”
“Aku
harus kerja buat menghidupi diriku dan Amy…”
“Kamu
tidak pernah harus begitu saat kita menikah, bukan?”
“Suster itu sudah
kupecat ! Puas?”
“Tidak
menyelesaikan apapun. Itu bukti bahwa kamu bukan ibu yang baik.”
“Apa
maumu Yan? Membunuhku di depan makam Amy?”
“Itu
terlalu enak buatmu. Aku tidak menyesal kita cerai. Yang kusesalkan adalah aku tidak
memperjuangkan hak asuh Amy. Bila itu kulakukan, Amy pasti masih hidup
sekarang…”
Air mataku mulai menggenang
lagi di pelupuk mata. Namun sebelum sempat membalas perkataan menyakitkan itu,
Yan pergi meninggalkanku. Ucapan Yan kedengaran tak adil, meski aku sadar bahwa
banyak kebenaran terkandung di dalamnya. Sejak memutuskan menggugat cerai Yan,
dunia seolah terputar balik. Semuanya jadi serba salah.
Mulai dari kenyataan
bahwa ekspatriat asal Chili bernama Ramon ternyata bukan cinta sejatiku
meskipun demi pria itu aku akhirnya memutuskan tali ikatan suami-istri dengan
Yan yang sudah berjalan lima tahun, sampai pada keterpaksaan ekonomi yang
memaksaku bekerja dari siang sampai malam demi memenuhi kebutuhan perut Amy dan
membayar kontrakan kumuh tempat kami berdua tinggal.
Gengsiku lebih
mengalahkan penyesalanku mencampakan Yan yang sebenarnya masih mencintaiku. Demi
menutupi kegagalan dengan Ramon, aku bertekad survive sebagai single parent sehingga
demi memenuhi kebutuhan yang besar dari gajiku yang kecil sebagai kasir kantin
di sebuah perkantoran, aku mengambil pekerjaan sambilan sebagai penari striptis
di malam hari. Meski tidak mendapat gaji bulanan, tips mereka besar dan aku
senang sebab di klub itu aku tidak diharuskan melayani hubungan seksual dengan para
tamu bila aku tidak berkenan.
Namun
seperti Yan bilang, mengijinkan pria-pria hidung belang itu menatapi tubuhku
dengan rakus sama nistanya seperti memberikan kepercayaan kepada Nursida buat
menjaga Amy. Padahal aku tahu Nursida bukan suster berpengalaman buat menjaga
anak umur lima tahun, masalahnya aku tidak punya pilihan lain sebab aku butuh
seseorang untuk membantu menjaga Amy dengan segera dan hanya Nursida yang mau
digaji murah.
Dan
seperti diriku, yang tak bisa menjaga tubuhku agar jangan sampai digerayangi
dan akhirnya ditiduri akibat pemikirannya yang naïf pada klub tempatku menari,
begitu juga akhirnya aku harus kehilangan Amy yang jatuh ke sumur di belakang
halaman rumah kontrakan dan tenggelam disana karena Nursida kelewat asyik
bertelpon ria sehingga baru sadar kehilangan Amy satu jam kemudian.
Sejak
pemakaman Amy minggu lalu, tidak satu malam pun lewat tanpa air mata bagiku.
Meratapi ranjang kosong dan boneka Barbie yang menatap bengong karena
pemiliknya telah pergi. Aku meratap saat Ramon meninggalkan diriku setelah
semua yang kuperbuat untuk lelaki itu. Aku meratap saat Yan tidak mau menerima
permintaan maafku sebab tidak yakin aku cukup bersungguh-sungguh setelah
mempermalukan dirinya dengan perceraian. Namun ratapanku tidak sehancur saat meratapi
Amy sebab aku sadar aku tidak akan bisa mendapatkan belahan jiwaku kembali…
“Ya,
Tuhan…kenapa Kamu harus ambil Amy dariku ? Kembalikan dia padaku…aku tidak kuat
menahan sakit di hatiku ini….tolong…tolong aku…tolong aku mengatasi rasa sakit
ini…aku ingin Amy hidup lagi…” Harapan tinggal harapan dan gerimis tetap
mengguyur deras menemani linangan air mataku…
***
“Halo…”
Aku
menatap gadis yang sedang berdiri di hadapanku. Gadis itu cantik, tingginya
lima senti melebihiku yang memiliki ukuran tinggi diatas rata0rata wanita
Indonesia, yakni 165 senti, dan dia nampak semakin tinggi dengan sepatu high
heels yang dia kenakan. Tubuhnya yang padat dan ranum dibungkus seragam ketat
dan mini yang menunjukan dirinya Sales Promotion Girl produk rokok.
Yang paling
menarik perhatian Melissa adalah rambutnya yang tergerai panjang dan berwarna pirang.
Entah kenapa Melissa yakin itu bukan sepuhan pewarna rambut, dan rambut itu
makin menambah kecantikan wajah sang gadis yang berwajah oval.
“Sorry…saya
lagi melamun. Meja nomor berapa?”
“Saya
bukan mau bayar,” sahut gadis itu tersenyum. “Saya mau menawari barang.”
“Oh?
Apa itu?” ekspresiku berubah tidak senang. Orang-orang seperti ini biasanya
hanya membuang waktu dengan pertanyaan dan obrolan tak tentu arah, padahal aku
harus bekerja.
Gadis
itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, satu slop rokok bermerek Olimpia,
“Bagaimana caranya supaya saya bisa menaruh barang dagangan saya di rak itu?”
Aku
menatap rak display, di sebelah mesin kasirnya, yang ditunjuknya, “Wah, anda
harus bicara dulu dengan manajernya untuk itu…”
“Boleh
saya minta nomor boss mbak yang bisa dihubungi?”
Aku
memberikan selembar kartu nama dan gadis itu mengucapkan terima kasih.
“Kantin
ini selalu ramai, ya…”
“Begitulah,
mbak ! Soalnya di perkantoran sih jadi ada saja yang mampir makan disini.”
“Makanya,
disini cocok sekali untuk menaruh dagangan saya.”
“Produk
baru, mbak?” aku mencoba berbasa-basi.
“Iya…”
“Bedanya
dengan produk-produk lain apa ya? Karena banyak rokok dijual disini…”
Gadis
itu mengeluarkan satu pak rokok yang sudah dibuka dan menawarkan tanpa bertanya
apakah aku merokok atau tidak, sepertinya dia tahu kalau aku memang perokok.
Aku memang perokok berat. Saat galau meratapi kepergian Amy, aku sampai
menghabiskan dua setengah slop rokok tiap hari sendirian….sebuah jumlah yang
pasti akan membuatku malu dalam situasi normal sebab aku memang sudah berjanji
berhenti merokok demi Amy. Rasanya tidak ada satu haripun terlewat bagiku tanpa
rokok terselip di jari tangan kecuali di waktu seperti ini sebab aku selalu
memegang teguh prinsip itu.
“Sorry,
bukan bermaksud nolak tapi saya tidak merokok di jam kerja.”
“Wah,
sayang ! Soalnya saya ingin menunjukan rokok ini beda dari yang lain…”
“Semua
produsen rokok juga bilang gitu, mbak !” aku tertawa.
“Yang
ini lain. Rokok lain membuat mereka yang hidup jadi mati. Sementara Olimpia
membuat yang mati menjadi hidup…”
Aku
terkesiap mendengar perkataan itu,“Bukan dalam artian mati yang
sebenarnya,kan?”
“Kalau
memang benar begitu, kenapa mbak nggak coba?” ada suatu kekuatan di dalam tatapan
sepasang bola mata biru sang gadis yang memberi pengertian tergila bagiku dan
membuatku paham tanpa perlu menanyakannya secara verbal. “…walaupun itu
berbahaya.”
“Kenapa?”
“Tidak
baik membangkitkan yang sudah mati karena itu melawan takdir.”
“Saya akan tetap
mencobanya…”
“Lagipula
saat menghembuskan nafasnya kepada manusia, Sang Khalik memberikannya dengan
nafas suci.”
Aku
ketawa,”Saya memang tidak punya nafas suci tapi nafas saya cukup wangi…”
“Oh,
baiklah ! Kalau begitu silakan…” gadis itu menutup kembali tutup kotak rokoknya
dan memberikannya padaku.
“Makasih
mbak….”
“Athena….nama
saya Athena.”
“Nama
yang bagus,” puji Melissa.
“Terima
kasih, Melissa.”
Belum
sempat menanyakan darimana gadis itu tahu namaku, Athena sudah pergi.
***
“Sudah
mau pergi?” tanya Wati, teman kerjaku yang ikut menjaga kantin.
“Ada
urusan.”
“Kamu
mau ke klub itu lagi?”
“Tidak
!” jawabku. “Tidak ada lagi yang harus kukejar setelah Amy meninggal.”
“Maaf,
bukan bermaksud untuk…”
“Nggak
apa-apa. Aku mau mampir ke makam sebentar.”
“Baiklah.
Hati-hati. Kalau ada apa-apa jangan sungkan buat telpon aku.”
“Makasih,
Wat…”
Jarak
dari kantin tempatku bekerja ke pemakaman Amy lumayan jauh sehingga aku baru
sampai dua jam kemudian dengan naik bis. Namun dua jam kali ini tidak terasa
bagiku sebab banyak pertanyaan yang ingin segera didapat jawabannya begitu aku
menjejakan kaki di kuburan.
Jantungku
menderu bagaikan genderang mau perang saat berada di atas makam anak gadisku,
Amy. Rasa penasaranku hanya bisa dituntaskan dengan sebuah jawaban… dan itu
dimulai dari….
Aku
mulai menggali tanah yang masih basah…menggali dengan sekop yang ditinggalkan
kuncen kuburan di sebuah gubuk dekat makam Amy…menggali dan terus menggali
hingga akhirnya ujung sekop menyentuh kayu keras yang merupakan peti mati Amy. Aku
bergegas menyingkirkan tanah di sekitarnya dan membuka tutup peti.
Serangkum
bau tak sedap dari mayat Amy yang mulai membusuk menghambur ke penciumanku,
tapi itu tak kupedulikan. Aku duduk pinggiran peti mati dan mengambil sebatang
rokok Olimpia. Menyalakannya dengan pemantik lalu mengepulkan asapnya ke udara.
Rasanya tidak berbeda dari rokok-rokok biasa, malah lebih pahit tapi aku mau
lihat apakah rokok ini memiliki khasiat seperti yang dikatakan Athena…
Aku
menyedot rokok dalam satu tarikan panjang lalu mengepulkan asapnya ke wajah
Amy. Kepulan asap rokok menyeruak ke dalam hidung si gadis kecil dan menyelusup
masuk hingga ke pori-pori kulitnya. Aku sampai bisa melihat asap keluar dari
sana diantara kulitnya yang telah mulai rusak oleh pembusukan. Lima menit tidak
ada reaksi apapun. Begitu pula lima menit berikutnya. Aku menyedot lagi
kemudian menghembuskan asapnya ke wajah Amy. Tetap tidak ada reaksi apapun…
Hampir
saja menganggap diriku bodoh karena mempercayai anggapanku sendiri bahwa
Olimpia bisa membangkitkan yang mati…mungkin itu memang hanya slogan
pemasaran…. mendadak aku mendengar Amy terbatuk-batuk. Di tengah kepulan asap
kelabu aku melihat gadis kecilku membuka matanya, “Mami?”
Agak
ngeri juga melihat bagaimana wajah Amy yang lebam dan hampir hancur itu
menatapku tetapi bagaimanapun dia buah hatiku. Aku meledak dalam bahagia. Kupeluk
anak gadisku satu-satunya itu kemudian menangis sesunggrukan melepas
kebahagiaan yang tiada tara mendapati Amy hidup kembali, “Terima kasih
Tuhan…terima kasih Athena…”
***
Fajar
telah merekah begitu taksi yang mengantarkan aku dan Amy sampai ke rumah
kontrakan klami. Aku sama sekali tidak menyangka bahwa aku sudah menggali makam
Amy sepanjang malam, namun itu tidak percuma sebab belahan jiwaku kini sudah
bersamaku lagi.
“Amy
senang pulang ke rumah…” wajah dan kulit Amy yang tadinya hancur terlihat
sedikit lebhi baik dibandingkan saat aku menariknya dari dalam kuburan beberapa
jam lalu.
“Mami
juga. Amy mau istirahat lagi di kamar?”
“Nanti
aja, mi ! Amy lapar…mau makan….”
“Ayo…tampang
kamu pucat sekali. Kamu memang harus banyak makan,” aku membimbing Amy menuju
dapur kemudian menyiapkan semangkok cereal dan segelas susu yang menjadi sarapan
kesukaan Amy. “Dimakan ya. Kalau kurang nambah lagi.”
Baru
saja aku hendak mengembalikan kotak sereal ke atas sepen aku mendengar Amy
berkata, “Nambah lagi mi…”
“Ya,
ampun. Sudah habis? Kamu cepat sekali makannya,” kataku tertawa demi melihat
mangkok dan gelas yang sudah kosong. Kuisi lagi mangkok dengan sereal dan gelas
dengan susu, yang ternyata licin tandas dalam waktu kurang dari lima menit. Amy
meminta tambah lagi dan aku mengisinya lagi…begitu seterusnya hingga gadis
kecil itu menghabiskan dua kotak sereal dan dua karton susu sendirian. Tujuh
hari dalam kuburan tanpa makan, kurasa siapapun akan mampu menyantap sebanyak
itu, tidak terkecuali anak berusia lima tahun.
"Kamu
pasti lapar sekali,” aku mengelus kepala Amy. “Biasanya kamu susah makan.”
“Iya,
mi…” Amy mengangguk.
“Sekarang
kamu sebaiknya ganti baju lalu istirahat. Mami harus kerja dulu.”
“Mami
nggak menemani Amy?”
“Kepinginnya
sih begitu. Tapi mami nggak bisa ijin atau bolos. Nanti mami minta tolong papi
untuk temani kamu, deh.”
“Bener?”
mata Amy membulat senang. “Asyiiikkk…”
***
“Apa
kamu bilang? Amy hidup?”
“Iya,
Yan ! Dan sekarang dia ada di rumah kontrakanku.”
“Kamu
jangan main-main, mel !”
“Bener,
Yan ! Amy ada di rumah kok. Hari ini shift kamu lagi libur, kan?”
“Iya…”
sahut Yan masih tetap tidak percaya mendengar perkataanku.
“Kamu
bisa kesana kan buat jagain Amy? Tolong ya…aku harus kerja sampai siang,”
“Oke.
Tapi bener Amy hidup? Bagaimana ceritanya?”
“Ceritanya
panjang. Aku cerita kalau pulang nanti sore aja…”
“Dasar
! Awas kalau kamu berani bohong.”
“Nggaklah
! Oh, ya…aku sudah siapkan makan siang buat kamu di dapur. Makan siang Amy juga
ada disitu, jadi jangan lupa kasih makan anakmu ya…soalnya dia sekarang doyan
makan.”
“Masa?
Oke deh…” sahut Yan.
“Udah
dulu ya…aku harus melayani pelanggan. I Love you…”
Aku
menutup ponsel. Tersenyum, sebab aku yakin Yan kaget mendengar kalimat terakhirku
tadi tetapi aku memang sedang berbunga-bunga saat ini. Athena benar, semangat
yang telah mati dalam diriku mendadak terbangun kembali seiring dengan hidupnya
Amy. Dan sekarang aku ingin coba merekatkan kembali keutuhan keluargaku bersama
Yan, kalau itu bisa. Aku berharap Yan bisa memaafkanku bila mendapati Amy hidup
kembali.
Sedari
tadi aku mencari sosok Athena karena ingin mengucapkan rasa terima kasihku
secara langsung, sekaligus memperkenalkannya dengan pak Budiman, pemilik kantin
sekaligus bossku yang kebetulan datang siang ini untuk menengok situasi tempat
bisnisnya. Namun Athena tidak kelihatan batang hidungnya.
“Semuanya
lima puluh ribu enam ratus…” kataku kemudian mengucapkan terima kasih setelah
sang pelanggan menyerahkan uangnya.
“Duile,
neng ! Gembira banget kayaknya hari ini. Habis dapet lotere?” goda Wati.
“Bisa
aja kamu, Wati…” aku tersipu.
“Atau
jangan-jangan karena boss datang hari ini ? Jadi kamu mau nunjukin bagaimana
rajinnya kamu supaya kamu bisa minta kenaikan gaji.”
“Bukan
begitu juga kaleee…” ucapku seraya mencubit pinggang Wati supaya berhenti
menggoda.
“Yaikks.
Jangan main tangan, ah ! nanti suamiku marah,” kata Wati tertawa.
“Suami yang mana? Suami
kamu kan sudah meninggal.”
”Maka dari itu! Jadi
ada cerita apa nih?”
“Amy
hidup lagi…”
“Siapa?
Amy? Amy anak kamu?” Wati terkejut dan tak mempercayai pendengarannya. Namun
ketika melihat binar di mataku, dia yakin aku sedang tidak main-main. “Serius?
Bagaimana bisa?”
“Kemarin
ada SPG bernama Athena datang kemari dan memberiku ini…” aku memberikan sekotak
rokok Olimpia kepada Wati. “…setelah itu semua keadaan berubah.”
Wati
melihat kotak rokok itu dengan pandangan aneh,”Yakin isinya bukan ganja? Kamu
nggak lagi teler dan berhalusinasi anak kamu masih hidup, kan?”
Aku
tertawa, “Nanti malam kamu ikut ke rumah deh. Tapi kamu harus bawa kue tart
ulang tahun buat Amy seperti janji kamu sebelum dia meninggal.”
“Boleh.
Kalau kamu membohongiku kamu harus ganti uang kue tartnya.”
“Deal
!”
***
Aku
memutar kunci pintu dan masuk ke dalam diikuti Wati. Kami menjerit kecil
setelah aku menyalakan lampu ruang depan karena melihat sosok Amy duduk
sendirian di sofa ruang tamu.
“Kamu
bikin mami kaget, Amy ! Kok sendirian disitu?”
“Lagi
menunggu mami,” jawab Amy tersenyum manis.
“Ya,
ampun ! Dia memang hidup lagi…” kata Wati melongo.
“Tante
Wati bawa apa?” tanya Amy menunjuk bungkusan besar yang dibawa Wati.
“Oh,
ini kue tart buat ulang tahun kamu yang terlewat kemarin,” jawab Wati sembari
menaruh bungkusannya di meja dan membukanya.
“Asyiiikkk…boleh
dimakan? Amy memang sudah lapar.”
“Papi
kok tidak kelihatan? Dia kemari nggak hari ini, Amy?”
“Nggak
tuh…”
“Dasar
! Seharusnya aku tahu Yan tidak bisa dipercaya.”
“Ya,
sudahlah. Toh Amy dalam keadaan baik-baik saja…” kata Wati menenangkan.
“Titip
Amy dulu ya Wat. Aku mau mandi dulu.”
“Sip,”
Wati mengacungkan jempol.
Aku
masuk ke kamar mandi. Hatiku panas bukan main mendapati Yan ternyata tidak
datang buat menjaga Amy seperti janjinya. Dari dulu memang Yan selalu banyak
mulut. Soal dia bisa menjaga Amy seperti yang dikatakannya di makam itu juga
tak lebih dari omong kosong. Bila terjadi apa-apa sama Amy, maka aku tidak bisa
memaafkan Yan…sama seperti aku tidak bisa memaafkan Nursida yang kabur entah
kemana.
Guyuran
air dingin merentaskan panas di hatiku dan membuatku lebih nyaman. Apalagi
ketika wangi sabun membalut seluruh tubuh hingga memberikan kesegaran baru yang
mengusir seluruh penat yang kudapat hari itu. Setelah selesai, aku mengambil
handuk dan mengeringkan rambut serta tubuh. Pandanganku tertumbuk pada sebuah
benda yang ada di atas wastafel.
Kaca
mata…
Melissa
mengambil benda itu dan mengamatinya…ini kacamata milik Yan…berarti hari ini
dia memang kemari…tapi kenapa Amy mengatakan dia tidak ke rumah?
“Amy,
aku menemukan benda ini di…”
Hatiku
mencelos mendapati ruang tamu dalam keadaan kosong. Wati sudah tidak ada lagi
disitu, tinggal Amy duduk sendirian menghadapi nampan kue tart yang tidak
bersisa. Amy menatapku dengan senyum manis, “Ya, mami?”
“Kemana
tante Wati?”
“Sudah
pulang. Katanya ada urusan mendadak.”
“Begitu
mendadak sampai dia tidak membawa tasnya?” Melissa makin curiga.
“Ya,
begitulah ! Mami mau nanya apa tadi?”
“Kenapa
kamu bilang papi nggak kemari hari ini. Mami menemukan kacamata papi di atas
wastafel kamar mandi.”
“Mmm,
mungkin aku nggak lihat soalnya aku tidur terus seharian,” jawab Amy dengan
wajah tanpa dosa.
Aku
menghubungi nomor ponsel Yan tapi hanya dijawab dengan nada sambung.
“Mami,
ada makanan nggak? Aku lapar sekali nih.”
“Lho,
kamu bukannya sudah makan kue tart?” kataku menunjuk krim dan gula berwarna
merah muda yang belepotan di sela mulut Amy.
“Itu
bukan aku yang habisin. Tante Wati yang makan semuanya.”
“Ya,
sudah tunggu disini. Tadi siang mami sebenarnya sudah siapkan makanan buat kamu
yang ditaruh di sepen di dapur.”
“Assyiiikkk…boleh
ambilin buat Amy, mi?”
Aku
masuk ke dapur dan menghampiri lemari sepen. Di dalam sana kosong. Nasi, telur
balado, ayam goreng, dan tumis kangkung yang sudah kusiapkan buat Yan dan Amy
raib entah kemana. Mungkin Yan memang datang kemari dan menghabiskan semuanya.
Dasar ! Terpaksa aku harus masak lagi buat Amy…
Kuhubungi
sekali lagi nomor ponsel Yan, kali ini bukan hanya untuk menumpahkan unek-unekku
karena meninggalkan Amy sendirian sebelum aku sampai ke rumah tetapi juga
karena menghabiskan semua makanan yang kutinggalkan. Saat itu aku mendengar
bunyi samar, bersamaan dengan nada sambung yang mengalun dari balik ponselku. Aku
tiba-tiba sadar bunyi samar itu adalah bunyi ponsel milik Yan. Jadi Yan ada
disini. Tapi dimana dia?
Aku
memandang berkeliling. Mencari-cari darimana datangnya bunyi samar itu. Dan
bunyinya semakin keras ketika aku mendekati kulkas. Aku memegangi pegangan pada
pintu kulkas lalu menariknya. Kurasakan tanganku jauh lebih dingin daripada
hamburan uap es yang mengalir keluar dari sela pintu kulkas.
KKKKKYYYYYYYAAAAAAAAA….
Jeritanku
membahana saat melihat isi kulkas yang penuh potongan tubuh manusia. Jantung,
limpa, kaki. Di bagian tengah aku melihat potongan tangan terselip diantara
sepotong kaki dengan gelang yang melingkarinya…aku syok…itu kaki Wati…sementara
potongan tangan itu menggenggam ponsel yang menyala akibat dihubungi oleh
ponselku. Ponsel milik Yan…tangan milik Yan…
“Kenapa
mami teriak-teriak?” tegur Amy dari belakang.
“Apa
yang kamu perbuat pada papi dan tante Wati?” aku berteriak histeris.
Amy
cuma menyeringai,”Soalnya aku lapar…”
Seringai
itu seringai paling mengerikan yang belum pernah kulihat sebelumnya dari Amy. Gadis
kecil berwajah pucat itu mengeluarkan sebilah pisau dan menancapkannya ke dadaku
dengan sekali tusuk. Aku menatap Amy dengan tatapan tak percaya mendapati malaikat
kecilku bisa melakukan hal keji itu padaku.
Hanya berselang beberapa menit aku
ambruk ke lantai dengan bersimbah darah tetapi aku masih sempat merasakan gadis
itu berjongkok di depan mayatku, mengiris telingaku tanpa aku merasakan sakit
sama sekali lalu terdengar suara mengunyah dengan nikmat bagaikan seekor serigala
diberi daging empuk.
“Seharusnya
mami tidak membangkitkan orang yang sudah mati!”
END
I never believed things online but was desperately looking for a solution to get pregnant for my husband after my doctor told me I couldn't get pregnant, I went to Dr, Ediomo Omiri from my best friend who works in the same office. with me, I explained everything to Dr. Ediomo and she promised me she would help me and gave me some instructions I did everything perfectly so I went to the hospital after 3 weeks and to my surprise the doctor told me I am 1 week pregnant so far I have a beautiful girl thank you Dr Ediomo Omiri, please contact her if you have any difficulties,
ReplyDelete* If you want to get pregnant.
* If you want a meeting with your husband/wife
* If you want to get your boyfriend back.
* If you want to cure any disease.
* If you need spiritual power/ telekinesis
* Family happiness spells
* If you want to stop a divorce
* If you want to stop abortion.
And so on
She is the perfect person to help you trust me. Contact her Whatsapp: (+2349132180420)
Email drediomo77@gmail.com