Gerimis
mengguyur pengunjung makam yang sebagian besar mengenakan pakaian serba hitam.
Payung-payung berwarna senada menjadi peneduh dari rintikan hujan yang seakan
menjadi simbolisasi kesedihanku yang sedang berjongkok di timbunan tanah yang
baru saja diuruk untuk menutupi jenazah yang ada di dalamnya. Satu persatu
pelayat meninggalkan makam, mereka seakan menghindari untuk mengangguku yang
larut dalam kesedihan.
Pria
itu berdiri tak jauh dariku. Tepat di sisi sebelah makam. Sama seperti pelayat
lain, ia juga membiarkanku sendiri sampai puas meratap. Setelah tangisan ini
mereda, aku baru menyadari kehadirannya saat mendongak dan kulihat matanya
menatapku penuh kemarahan.