Wednesday, November 9, 2016

411 NYARIS MENJADI BLOODY SUNDAY


Demonstrasi penistaan agama yang terjadi pada Ahad tanggal 4 November lalu menumpahkan massa sebanyak lebih dari 200 ribu orang di wajah ibu kota. Entah dari mana saja massa itu berasal tapi yang jelas kedatangan para ‘turis’ itu telah memberi berkah bagi penduduk asli Jakarta yang berprofesi sebagai penjaja nasi goreng, mie ayam, ketoprak, gado-gado, sate, es cendol, teh botol dan lain sebagainya.

Aksi yang semula berjalan tenang dan damai berubah menjadi kericuhan selepas magrib ketika polisi yang berusaha membubarkan massa karena waktu demo yang disepakati telah lewat tidak digubris. Massa kemudian berubah beringas dan berusaha menerobos barikade pihak keamanan sehingga polisi terpaksa melepas tembakan gas air mata sebagai peringatan dimana akhirnya terjadi pembakaran mobil dan keributan yang tidak diinginkan.

Kerusuhan yang terjadi pada Jumat malam nyaris berkelanjutan pada Sabtunya karena beberapa media sosial dan himbauan lewat WA dan Line menyebarkan gossip akan terjadinya kelanjutan aksi massa di hari Sabtu berupa penjarahan yang mirip dengan kejadian tahun 98 sehingga beberapa teman warga keturunan yang was-was menyingkir keluar Jakarta.

Isu SARA (suku, agama, ras, golongan) memang bahan bakar paling pas buat mengobarkan api kerusuhan namun berkaca dari pengalaman demonstrasi 98 yang juga berakhir rusuh, apapun isunya semuanya bermuara pada satu hal bernama kekuasaan. Tidak percaya? Mari kita lihat alasan di balik 4 demonstrasi yang paling banyak membawa korban di seluruh dunia ini:
  
  1.   Demonstrasi Nika 532 M, korban tewas : 30.000 orang
Sebagai kota yang tumbuh dengan terlalu banyak kontrol, para senator Konstantinopel yang bekerja bagi Kaisar Justinianus memutuskan bahwa mereka akhirnya memiliki waktu yang tepat untuk menggulingkannya setelah ketidaksetujuan mereka atas peraturan pajak baru ditolak. Kaisar dianggap menarik pajak terlalu tinggi sehingga mereka tidak senang karenanya.
Karena itu, para senator kemudian tergabung dalam demo dan menuntut dipilihnya Kaisar baru serta turunnya John the Cappadocian dan Tribonian yang mendukung ide-ide pajak Justinianus. Namun demo itu tidak dipedulikan sehingga kerusuhan terus terjadi.

Kerusuhan besar justru mulai terjadi ketika dua orang dari tim chariot hijau dan biru dituduh melakukan pembunuhan dan harus dibawa ke sidang tetapi Kaisar Justinianus yang merupakan pendukung tim biru mengadakan pertandingan tersebut dengan harapan hukuman mati kepada tim biru bisa diperingan menjadi hukuman penjara seumur hidup.

Massa yang marah datang ke Hippodrome, ke tempat dimana pertandingan kereta kuda, dan teriakan kedua kubu yang saling membela akhirnya berubah menjadi teriakan Nika yang artinya ‘kemenangan’ dan para senator pembelot akhirnya berhasil menunggai tim hijau untuk melawan keputusan Kaisar sehingga pecahlah kerusuhan.

Kerusuhan biasanya berlangsung satu atau dua hari namun kerusuhan Nika pada 532 SM berlangsung seminggu, dan dikenal sebagai kerusuhan paling mematikan yang pernah ada, 30.000 orang mati di seluruh kota dan setengah dari kota itu dibakar menjadi abu dan puing-puing.

  1. Demonstrasi Warga Arab di Palestina 1936-1939, korban tewas : 5.600 orang
Pada April 1936 beberapa pemimpin Arab yang tergabung dalam Komite Tinggi Arab (AHC) menyerukan protes tentang dua hal yakni imigrasi Yahudi dalam jumlah besar ke wilayah Palestina serta kembalinya pemerintahan kolonial Inggris. Tahun-tahun pertama Demonstrasi dilakukan dengan cara pemogokan dan boikot produk-produk Yahudi.

Pada awalnya pihak Inggris berhasil meredakan ketegangan dengan cara menghentikan laju imigran Yahudi yang pada saat itu tengah dicari-cari Nazi Jerman – yang secara kebetulan juga sedang berperang dengan Inggris pada Perang Dunia 2 – karena Inggris tidak ingin kehilangan pasokan minyak dari negara-negara Arab. Namun invasi terus terjadi dan orang Israel terus datang ke tanah Arab tanpa bisa dihentikan oleh pihak Inggris yang akhirnya mengusulkan untuk memisahkan Palestina menjadi sebuah negara mandiri diluar kesatuan negara Arab namun usul itu ditolak mentah-mentah yang berakhir pada demo besar-besaran.

September 1937, kerusuhan itu berubah menjadi aksi kekerasan karena AHC menuntut praktik imigrasi Yahudi dihentikan dan Palestina menjadi negara merdeka bagi warga Arab. Inggris yang banyak dikendalikan oleh Israel dalam fungsinya berperang melawan Jerman tidak mampu memberikan solusi sehingga akhirnya pecahlah kerusuhan yang memakan banyak korban.

  1.   Direct Action Day 1946, korban tewas : 4.000 orang
Keputusan pemerintah Inggris di tahun 1946 untuk memberikan kemerdekaan dan pengalihan kekuasaan secara penuh kepada pemimpin India yang berasal dari kaum mayoritas agama hindu mengecewakan bagi mereka pemeluk Islam karena mereka ingin mendirikan negara sendiri bernama Pakistan dan bukan berada di bawah naungan negara India.  

Pemimpin Muslim India lalu menuntut agar India dibagi dua, yakni India dengan mayoritas Hindu dan Pakistan dengan mayoritas Islam namun usul ini tidak disetujui. Makin kecewa dengan keputusan itu maka mulai muncul beberapa kali bentrokan kecil antar golongan khususnya di Kalkuta.

Pemimpin muslim memutuskan mengerahkan massa yang semakin besar agar pemerintah baru mau melihat eksistensi mereka pada 16 Agustus 1946, atau 18 hari setelah Ramadhan yang mereka namai Direct Action Day atau Hari Gerakan Secara Langsung dimana demonstrasi besar-besaran itu berakhir rusuh. Pertempuran sangat buruk bahkan pasukan polisi dari kedua belah pihak tak dapat mengendalikan atau menghentikannya.

Baru pada tanggal 22 Agustus kerusuhan akhirnya berakhir setelah pasukan Inggris dikirim untuk menenangkan kekerasan. Selama kerusuhan, banyak orang meninggalkan rumah mereka, tetapi mereka yang tidak pergi menjadi pelaku dan korban kekerasan. 4000 orang tewas sementara lebih dari 100.000 terluka, banyak yang kehilangan tempat tinggal mereka namun kerusuhan ternyata menjalar dari Kalkulta hingga ke seluruh India.

  1.   Revolusi Rumania 1989, korban tewas : 1104 orang
Gelombang ketidakpuasan sebenarnya mulai terlihat pada tahun 1989 ketika Presiden Nicolae Ceau melakukan apa yang disebutnya sebagai gerakan Escu untuk menghapus hutang negara. Gerakan ini dilakukan dengan cara mengekspor sejumlah besar barang dari Rumania untuk ditukar dengan mata uang internasional.

Rencana ini justru membuat rakyat Rumania makin miskin, barang kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian, listrik, hiburan televisi dan banyak hal lain mengalami pemotongan tapi di sisi lain ketika negara sedang mencoba mengurangi beban hutangnya, Presiden Ceau malah mengadakan parade perayaan untuk dirinya dan sang istri yang menguras banyak uang rakyat.

Belum lagi usahanya untuk membentuk Rumania menjadi negara Kepolisian sehingga polisi memiliki kekuasaan tanpa batas. Kebebasan berbicara dibelenggu, buku disensor, saluran radio dilarang, dan tak ada lagi yang bisa mengkritik rezim. Semua ini sangat membuat marah banyak warga, dan sebagian besar percaya bahwa revolusi tak terelakkan.

Protes nyata pertama dimulai pada 16 Desember 1989, ketika pejabat Rumania berusaha menyingkirkan Laszlo Tokes, seorang pemberontak yang berani bersikap vokal menentang pemerintah yang menyebabkan dia kehilangan pekerjaan sebagai seorang pendeta. Polisi yang berusaha menangkap Tokes mendapat hambatan dari rakyat yang datang ke rumah Tokes untuk melindunginya.

Besarnya jumlah massa memaksa polisi menggunakan cara kekerasan dengan peralatan lengkap untuk membubarkan mereka dari rumah Tokes namun demonstran di tempat lain justru melancarkan aksi balasan dengan masuk ke gedung Komite Kecamatan dan menghancurkan segalanya, termasuk propaganda dan brosur dan bahkan mencoba untuk membakar gedung itu meski usaha itu gagal.

Kerusuhan semakin buruk, polisi semakin tidak mampu menghadapi massa sehingga puncaknya terjadi kerusuhan pada 21 Desember, ketika hampir 100.000 orang datang ke istana presiden dan menyerukan himbauan anti-pemerintah dan pengunduran diri Ceau Escu. Presiden Ceau Escu dan istrinya berusaha melarikan diri dengan helikopter tapi usaha itu gagal dan mereka berhasil ditangkap dan diadili oleh massa. Kerusuhan panjang itu mengorbankan 1104 orang sebagai tumbalnya.

Tahun 98 saya ikut aksi massa pada waktu itu dengan semangat menurunkan pemerintahan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dan merasa apa yang saya lakukan sebagai bentuk patriotisme demi mempertahankan keutuhan NKRI dari kebobrokan. Nyatanya, aksi itu hanya melicinkan jalan bagi segelintir orang untuk naik ke tampuk kekuasaan padahal mereka tidak pernah turun ke jalan seperti yang kami lakukan.

Sangat disayangkan bukan kalau anda harus menjadi korban dari sesuatu yang sebenarnya anda sendiri tidak menikmatinya?

Dalam hal ini mari acung jempol kepada pihak keamanan yakni militer dan polisi yang tidak bertindak represif dalam menenangkan kerusuhan massa. Bila emosi ikut terpancing, dan yang mana saya yakin kemungkinan itu bisa saja terjadi, kita akan mengulang sejarah kelam Bloody Sunday di  Irlandia tahun 1972 ketika tentara Inggris berusaha menghentikan demonstrasi massa penduduk sipil penganut fanatis Katolik di Bogside, Irlandia Utara yang ingin penganut Protestan, yang tidak sejalan dengan faham mereka, keluar dari Derry.

Mari lihat trailer filmnya sejenak….


 26 orang ditembak dalam kerusuhan itu dan 13 diantaranya tewas ditembak, dan ini bisa saja terjadi kalau kerusuhan benar berlanjut dan diikuti penjarahan seperti kabar burung yang beredar. Padahal  kalau dipikir sekali lagi, sangat disayangkan kalau anda harus menjadi korban dari sesuatu yang sebenarnya anda sendiri tidak menikmatinya, bukan? 

No comments:

Post a Comment