Sunday, November 27, 2016

TEMARAM DI LINTAS SABANG


Ah, ada sentimentil tertentu setiap kali aku melewati kompleks komersial ini, yang dulu lebih dikenal sebagai Sabang oleh remaja seangkatanku, tempat dimana kebandelan dipamerkan dan apalagi kalau bukan bergaya dengan tongkrongan mobil mewah atau kebut-kebutan motor. 

Namun perlintasan ini berganti nama bersamaan dengan tersentuhnya oleh dunia bisnis lewat rambahan toko dan pedagang kaki lima yang mengalihkan tongkrongan mereka dan generasi muda di bawah mereka ke pusat-pusat perbelanjaan seperti Sarinah Thamrin.

Aku berharap bisa mengusir suntuk di tempat ini dari minggu yang penuh kutuk dan maki, romantisme nostalgia tentunya menjadi sesuatu yang ampuh bagi kejenuhan dan kejayaan masa lalu mungkin sebuah obat untuk memberi variasi suasana yang menyejukkan hati...


Masa rehat!

Cooling down dari hubungan asmara!

Hah, teman-temanku akan menertawakanku kalau mengetahui keadaanku… wajar saja karena kebanyakan dari mereka sudah punya momongan, malah hampir semua temanku telah berganti status menjadi pemain ganda campuran dalam pertandingan kehidupan ini, dan dengan usia yang semakin menua semakin banyak kebingungan menghampiri, bukan soal gadis mana yang pantas sebagi pendamping atau kenapa tak seorang gadis pun melirikku, yang jadi masalahku justru kenapa hubunganku tidak pernah bisa berlangsung lama dengan pacar-pacarku...

Kususuri trotoar dari ujung Pondok Sate Kambing Pak Kumis yang terkenal sampai sekarang. Happy Days yang dulu ada di seberang jalan itu sudah lenyap karena tak kuasa menahan kejamnya kapitalisme, siapa yang tak bisa menghasilkan profit yang cukup untuk menyewa tempat di sepanjang Sabang akan tergusur, dan itu berlaku bagi siapapun tanpa kecuali meski dari tempat itulah banyak orang Jakarta mengenal Steak, dan aku salah satu contohnya, pemuda kampung yang merantau ke ibu kota untuk kuliah berlaku norak dan kebingungan saat mencari-cari sendok untuk memakan steak dan mengabaikan pisau di samping piring.

Dan Oding yang menraktirku itu biang keroknya, dia mengundangku supaya aku jadi bahan tertawaan teman satu angkatan di kelas Sipil-A. Tapi dari kejadian itu aku dan Oding berkawan karib. Bahkan denganku, dan mungkin ini hanya denganku saja, dia berbagi rahasia mengenai persetubuhan pertama kali yang dia lakukan bersama mantan pacarnya. Semuanya rinci, sampai pada musik yang mengiringi sesuatu yang disebut Oding sebagai ’permainan lelaki sejati’.

Kneel down Inhale my odor
Come kiss my hand angel
dare to explode my higher ground
stike ti desearve me
Ma chrie

And my winds surpass perfum
I'm a carismatic and fool boom
I'm a genuine man

Yes I am, I am a perfect gentleman
Yes I am, I am a perfect gentleman

Kadang aku tak percaya dengan omongannya karena aku tahu Oding suka membual, dan itu termasuk urusan yang satu itu, lagipula mana ada gadis yang sudi bercinta dengan iringan musik berisik macam band Halloween. Tapi bila aku sangsi bukan berarti itu tak mungkin terjadi, dan itu diakui oleh Oding beberapa bulan setelah dia bercerita soal percintaan yang dia lakukan bersama Melanie, bukan bagaimana dia mengarang cerita itu tapi bagaimana dia bisa menggaet cewek yang rasanya hampir mustahil meliriknya. 

”Ini karena cincin ini,” dia mengangkat jari tengahnya yang terlilit cincin perak bermata kuning.

”Cincin?” aku mengangkat alis tak mengerti.

”Ini bisa bikin cewek tergila-gila.”

"Bagaimana bisa?”

”Aku akan menunjukkannya padamu kalau kamu minat.”

Dan setelah membuktikan bagaimana dengan mudahnya Oding membuat gadis yang baru dikenalnya memberikan nomor teleponnya aku jadi mengerti kenapa Melanie menurut saja diperlakukan begitu, dan aku mendengarkan dengan termangu laksana sapi tolol mendengar cerita Oding soal sensasi yang dirasakannya diiringi teriakan ”I want out...” dan melodi gitar Kai Mahsen.

Pikiran yang melayang membuatku tak segera tersadar sewaktu seseorang menabrakku dari samping. Orang itu terpekik pelan karena tasnya terjatuh. Dan pada saat kami membungkuk bersamaan – aku karena ingin menolong mengambilkan tasnya sebagai permintaan maaf – aku terperanjat mendapati wanita di hadapanku. Mungkin keterkejutanku tidak sehebat yang dialami wanita itu. Itu sudah pasti, kataku karena yang kulihat itu guru biologi SMA-ku di Yogya.

Namanya Bu Erna. Nama yang tak pernah lepas dari ingatanku, dia dulu guru termuda dan tercantik di sekolah kami. Aku pangling mendapati dandanannya yang seronok, seingatku dia dulu selalu berdandan dengan gaya kolot karena dia begitu pemalu dan kami sering menganggunya.

Walau pemalu Bu Erna tidak seperti guru wanita lain yang pengecut yang suka melaporkan kami pada pak Har, wali kelas kami yang gahar dan terkenal suka main pukul bila ada yang mengganggu guru wanita, terutama Bu Erna, kami sering mengatainya sebagai ksatria kesiangan yang ingin digilai para wanita di sekolah.

Malah sebenarnya aku pernah dibuat illfill saat bu Erna mengacuhkan surat cinta, yang pada suatu hari kuberikan kepadanya dengan kenekadan luar biasa, dan wanita itu mengembalikan surat cintaku ke dalam selipan essai ulangan biologiku yang mendapat nilai E, aku masih ingat komentarnya ; 

Kalau kamu mengisi essai ulangan ini seperti tulisan seperti yang ada di surat ini maka kamu pantas dapat A. Malunya bukan main... 

"Bu Erna?” aku gamang, bingung untuk memanggilnya dengan ibu Erna atau Erna saja, sebab melihat penampilannya tak akan ada yang menyangka kalau dia sebenarnya jauh lebih tua dariku. Tidak ada yang berubah dari wanita ini. Tidak ada kerut atau cacat akibat usia sedikit pun yang menghiasi wajahnya. Dia cantik sempurna seperti guru muda yang kukenal dulu.

Meskipun terpesona tapi naluri laki-lakiku tak mampu menyembunyikan sifat nakal saat pandanganku menyapu rok kilt hitam yang lima senti diatas lutut, tank top coklat dari bahan satin yang tidak sampai menutupi perutnya, dan sepatu boot hitam Magli. Sebagaimana wajahnya, sama sekali tak ada yang berubah dari tubuhnya. Tetap langsing dan seksi.

Pipi Bu Erna bersemu merah, agaknya menyadari sorotan nakal mataku yang tidak bisa disembunyikan pada jarak sedekat ini, aku bisa merasakan sifat pemalu yang masih tersisa dari wanita itu. Hanya kali ini dia tak merasa terganggu dengan ’kenakalan’ku, dia malah tersenyum dan meraba lenganku yang dipenuhi otot dari hasil latihan beban dan bahuku yang kokoh, 

“Ferry? Kamu sudah dewasa…”

“Sedang jalan-jalan?” tanyaku canggung.

“Ya, menunggu teman,” jawabnya kaku.

Jawabannya menyulutkan pikiran yang semakin nakal dalam awangku. Akal sehatku mengatakan itu sebagai sesuatu yan sinting tapi bagaimana kenyataan yang didepanku bisa menolak hal itu?

Berpakaian seronok dan menunggu teman, jawaban yang diberikan hampir oleh semua wanita tuna susila bila dia kepergok oleh salah satu keluarganya ketika tengah menunggu di lokalisasinya. 

Apakah itu yang dilakukan wanita ini di tempat semacam ini? 

Tapi bagaimana mungkin dia bisa mendugakan hal sejahat itu pada wanita yang merupakan mantan gurunya?

Apakah gaji guru tidak mencukupi kebutuhan nafkah sehari-hari? 

Bisa jadi begitu karena dunia yang gila ini tidak lagi adil, bahkan bagi seorang pahlawan tanpa tanda jasa ini.

”Kamu sendiri? Sendirian?” wanita itu balik bertanya.

Aku menggeleng, ”Belum punya pacar...” dan ini jawaban bohong sebab kenyataannya aku sedang perang dingin dengan Moniq.

”Oh...” Bu Erna mengangguk dan dia berusaha keras menghindari tatapanku yang sekali lagi kusadari menyiratkan dugaan di otakku. Wanita itu mengeluarkan ponselnya sebagai isyarat untuk memutus basa-basi yang benar-benar basi dan kami saling bertukar nomor. Setelah itu kami berpisah dengan sopan santun setelah dia berpesan untuk menghubunginya as soon as posibble.

Seorang wanita berpakaian seronok dan tubuh menarik meninggalkan nomor ponselnya untukku. Sebuah denting mengiang di kepala, menyuarakan banyak kemungkinan yang semuanya mengarah pada apa yang disebut si Oding sebagai ’permainan lelaki sejati’. Namun ranah dalam hatiku yang logis membisikkan suara halus dari salah satu judul lagu band Poison, ”You can look but you can’t touch..

Jadi disinilah aku berdiri memandangi lenggak-lenggok pantat Bu Erna yang mengingatkanku pada Naomi Watts saat dia berjalan di catwalk di Fashion TV. Aku tak tahu apakah wanita itu bisa dengan begitu mudahnya memberiku nomornya untuk dihubungi karena masa lalu kami, atau karena kemampuan cincin bermata kuning di jari tengahku ini...cincin yang diberikan Oding persis sebulan sebelum sahabatku itu meninggal di…

Tuhanku, aku baru sadar kalau aku seharusnya tidak berlama-lama di trotoar ini, bukan karena banyaknya orang yang berlalu-lalang tapi di sudut dekat toko penjual kamera itu Oding tewas kebut-kebutan, persis di tikungan jalan di depan.

Decit rem yang meraung minta berhenti masih jelas seperti hari kemarin, mobil yang dikendarai Oding tidak dapat dikendalikan karena remnya blong dan sahabatku itu terlempar keluar melewati kaca yang hancur berantakan. Jurnalku mencatat dengan baik semuanya, buku itu tahu bagaimana perasaanku ketika darah Oding mengguyur salah satu bagian dari tepian jalan ini.


Demi mengubur perasaan tak nyaman ini aku masuk ke Duta Suara. Dulu toko kaset ini merupakan tempat aku menembak pacarku yang pertama, Nuri. Tapi bukan itu yang membuatku kerasan berkelana di hamparan kaset-kaset disitu. Di toko itu biasanya aku melewatkan waktu bersama anak-anak Mortal, band lamaku yang beraliran HardRock Punk, saat kami cabut kuliah.

Sekarang penataannya lebih rapi, manajemennya juga lebih baik. Pengurutan abjad dari A sampai Z memudahkan pengunjung untuk mencari rekaman-rekaman yang diingini. A untuk Aerosmith, B untuk Blink, C untuk Cranberries, sampai Z untuk ZZ Top. Mereka juga sudah menyediakan bagian khusus untuk mendengarkan kaset-kaset baru yang ditawarkan sehingga pembeli cukup mengangkat headphone dan mendengarnya tanpa perlu mengambil kaset dari rak jualan.  

Aku lebih menyukai keramahan suasana di masa silam, bayangkan kami bisa seharian nongkrong sambil membuka sampul kaset, mendengarkan hampir setengah isi kaset lewat pemutar yang disediakan gratis bagi siapapun yang ingin mencoba kaset itu sebelum membeli, dan mengembalikannya dengan serampangan tanpa merasa bersalah atau keharusan membeli, dan penjaga toko tidak pernah mempermasalahkan itu.

Semuanya tampak begitu formal, kurasakan tatapan galak penjaga-penjaga toko ketika aku membolak-balik kaset dan CD dari ujung rak yang satu ke ujung lain. Dan satu lagi yang menurutku sudah luntur dari budaya masa lalu…jiwa!

Dulu aku bisa bertanya pada penjaga toko tentang lagu baru yang mereka bisa carikan kasetnya atau sekedar jawab judul lagunya meskipun hanya dengan mendengar nada atau liriknya saja. Aku tidak yakin para penjaga yang sekarang berada di tempat ini punya kemampuan itu....lihat saja tatapan tolol mereka...

Terbukti ketika aku menanyakan dimana letak kaset dari band yang ingin kucari saja mereka harus kembali ke counter dan menanyakan kepada petugas di kasir, padahal jelas-jelas rak display itu sudah memakai sistem abjad untuk memudahkan mencari. Ah, jiwa memang penting untuk kehidupan ini….

Tapi…Damn! Kenapa dia disini? 

Dan,siapa itu di sebelahnya ?

Pandanganku tertumbuk pada gadis berambut hitam berparas jawa dengan kulit kecoklatan yang sedang berdiri di depan rak album-album beraliran pop. Itu memang musik favoritnya, terutama David Foster atau Josh Groban, dan kami sering berkelahi karena dia berkeras mendengarkan Valentine sementara aku Smell Of Teen Spirits.

Di sebelahnya berdiri pria kekar dengan seragam PDH berpangkat Letnan. Garis keras yang terbias di wajahnya menandakan orang lapangan itu kerap terlibat dalam situasi sulit seperti demo massa atau usaha-usaha makar pemberontakan di wilayah perbatasan. Tapi baru kini aku tahu kalau Moniq, nama gadis itu yang sekaligus memutuskan cintaku seminggu lalu, punya selera yang begitu buruk.

Waktu kukonfrontasi dengan mengambil langkah pertama dengan menegurnya, Moniq nampak gelagepan. Kaget mungkin berada pada tingkat terendah dari apa yang dia rasakan.

Panik! Itu dia!

Kepanikan serta rasa bersalah teraduk dalam emosinya. Ada kecanggungan yang melanda karena mendapati gadis itu tertangkap basah olehku, apalagi karena dia sendiri yang mengusulkan agar kami tidak berhubungan sementara waktu, bukan karena kami akan mengakhirinya, tapi karena butuh ruang untuk cooling down, memastikan kepada diri masing-masing bahwa yang kami jalani memang karena kami mau dan bukan gara-gara terpaksa atau ada cinta lain.

Moniq salah tingkah saat memperkenalkanku dengan kawan Letnannya. Aku bersikap acuh tak acuh meskipun pria itu mencoba ramah saat aku memperkenalkan diri sebagai kawan Moniq, tapi gadis itu tahu dari tatapanku kalau hubungan kami sudah berakhir dan aku yang memutuskannya.

Ego gadis itu yang tidak mau kalah membuatnya melontarkan pertanyaan yang rasanya menyindirku, “Sendirian?”

Dari sudut mataku aku melihat seorang wanita masuk ke lantai dimana kami berada, aku tak mempercayai mataku karena rasanya tadi kamis udah berpisah di tengah jalan, tapi sosok itu jelas bu Erna. Mungkin malaikat yang mengirim wanita itu, atau dia mengikutiku, atau mungkin ini juga efek cincin yang dipinjamkan Oding kepadaku...entah apapun itu yang pasti itu membuatku bisa menjawab pertanyaan Moniq dengan penuh gaya.

Dengan cueknya aku dekati wanita itu lalu menggandengnya dari belakang. Bu Erna kaget tapi cepat menguasai diri ketika mendapati pria yang memeluknya itu aku. Entah dengan kegilaan yang kudapat darimana kucium pipi wanita itu, dalam hatiku aku menjerit supaya wanita itu tidak menamparku di depan sepasang kekasih menyebalkan itu.

Ajaib, wanita menggairahkan ini tidak marah! Penuh senyum kemenangan kulambaikan tangan ke pasangan yang masih berdiri disitu. Aku geli melihat Moniq cemberut sementara tatapan mata Letnan itu ternyata sama seperti mata pria buaya lainnya, penuh nafsu melihat ’porselen’ yang mulus.

“Ada apa?” tanya Bu Erna keheranan.

“Teman ibu tidak datang ?”

“Tidak.”

“Boleh aku menemani ibu ?”

“Asal kamu mau memanggilku Erna."

Aku tersenyum mengangguk, "Erna..."

Wanita itu terkikik geli saat angin yang keluar dari mulutku sewaktu mengucapkan namanya terhembus ke telinganya. Lalu kami bergandengan menuruni lantai dua. Di tangga kami sempat berciuman mesra bagai sepasang kekasih merindu karena lama tak jumpa. Dan lamat-lamat kudengar lantunan lirik yang begitu kukenal, menyertai dalam setiap kecupanku padanya yang membuatku yakin atas eksistensi diriku.
           
Yes I am (perfect)
Yes I am (perfect)
Oh I am (perferct)
Oh lord I am (perfect)

Yes I am, I am a perfect gentleman
Yes I am, I am a perfect gentleman
Yes I am, I am a perfect gentleman
Yes I am, I am a perfect gentleman

Kurasa hanya tinggal menunggu waktu saja sampai aku meneriakan lengkingan Oding yang tolol namun selalu ingin kulakukan itu, “I want out--to live my life and to be free…

Aku terlena dalam euphoria mempermalukan Moniq dan kekasih barunya sehingga tak menyadari ketika Erna membimbingku memasuki sebuah gang, tempat itu mungkin penuh dengan pedagang makanan saat siang hari tapi di malam seperti ini sama sekali tidak ada kehidupan disana kecuali gerobak-gerobak yang sengaja ditinggal pemiliknya untuk berusaha keesokan hari.

“Memangnya siapa cewek yang di dalam tadi?” tegur Erna.

“Hanya temanku dengan pacar laki-lakinya,” aku menjawab.

“Bukannya dia pacarmu yang namanya Moniq?”

Aku tertegun mendengar itu, “Siapa bilang?”

“Betul, kan dia pacarmu? Kenapa kamu ngomong ke aku kamu nggak punya pacar?” tanya Erna dengan nada merengek.

“Secara harafiahnya kami lagi nggak pacaran saat ini karena saat ini kami sedang cooling down.”

“Oh, begitu? Mudah-mudahan itu jawaban jujur darimu,” kata Erna sembari mengangkat jariku yang terlingkari cincin pemberian Oding. “Dan apakah kamu menggaet Moniq gara-gara pesonamu atau cincin ini?”

Sontak aku menarik tanganku dari genggamannya, ini mulai terasa tidak lucu, “Ngomong apa sih?”

Erna tertawa terkekeh, “Soalnya kamu gagal total kalau mengira dengan cincin itu kamu bisa mengguna-gunai aku.”

Lagi-lagi aku terperangah, memang tadi sempat terpikir untuk melakukan apa yang dia tuduhkan tapi bagaimana mungkin dia tahu apa yang ada dalam pikiranku beberapa jam sebelumnya?  

“Justru yang sebenarnya terjadi adalah aku yang mengguna-guna kamu.”

“Apa?” dahiku berkernyit. “Buat apa?”


“Karena aku ingin makan malam ini…” dan setelah itu wajah perempuan yang kukenal sebagai bu Erna itu berubah menjadi sesuatu yang sangat buruk dengan taring yang mencuat di sela bibirnya. Kejadian berikutnya begitu cepat karena aku tak sempat melakukan apapun saat sepasang taring itu menancap di leherku…


END 

No comments:

Post a Comment